07 Februari 2012

Arema Di Titik Terendah

Arema memang tidak pernah lepas dari berbagai macam masalah. Masalah paling klasik adalah tentang dana. Tapi sejarah menuliskan bahwa segala masalah itu belum mampu mengikis kecintaan para Aremania terhadap Arema. Saat ini, Arema sedang mengalami sebuah masalah pelik, sebagai akumulasi dari permasalahan laten selama bertahun-tahun dan imbas kisruhnya PSSI. Bisa dibilang, Arema sedang mengalami titik terendah sepanjang sejarah. Arema pernah degradasi, Arema pernah jatuh miskin, tapi Aremania selalu kompak, dan kemudian Arema pernah sempat tidak lagi miskin, serta pernah menjadi yang terbaik gelar Piala Indonesia dan Liga Indonesia. Dukungan militan Aremania di seluruh Indonesia, dan dunia, mampu menjadi suntikan semangat bagi semua pemain, sehingga para pemain akan selalu berusaha untuk menunjukkan kemampuan terbaik demi Aremania. Uang memang kebutuhan pokok untuk pemain profesional, tapi di Arema mereka mendapatkan yang lebih dari itu. Fanatisme dan dukungan yang seringkali tidak masuk akal menjadi candu yang lebih adiktif daripada uang. Tapi apa yang terjadi saat ini? Ternyata berbagai masalah datang tak kunjung henti, yang bahkan mampu memaksa pemain yang paling setia sekalipun untuk keluar dari Arema. Bukan karena tidak cinta pada Arema, tapi jengah pada ketidakcintaan manajemen pada Arema itu sendiri. Manajemen yang seharusnya sangat berdedikasi dan menjadi kelompok utama yang memperjuangkan Arema, malah membuat Aremania bingung, apa maksud dan tujuannya. Manajemen malah terlihat seperti ingin menghancurkan Arema. Jika niat ini memang benar, maka, ya, mereka (hampir) berhasil.

Wasit Dalam Humanisme Bersepakbola

Kemarin saya membaca sebuah artikel di detiksport berjudul "Wasit dan Sikap Bersepakbola", yang cukup menggelitik saya untuk menuliskan sesuatu yang berhubungan dengan ini. Artikel ini intinya membahas pertandingan Chelsea melawan MU yang berakhir seri, 3-3, dengan adanya dua penalti untuk MU ketika mereka tertinggal 3-0. Keputusan wasit ini cukup mengecewakan bagi Chelsea dan pendukungnya, namun tidak ada reaksi berlebihan dari pemain, pelatih, dan ofisial. Kondisi berbeda mungkin akan terjadi apabila hal tersebut terjadi di Indonesia.

Ingatan saya tiba-tiba melayang pada partai Inggris melawan Jerman di Piala Dunia 2010. Dalam kedudukan 2-1, Lampard melakukan sebuah tendangan spektakuler dari luar kotak penalti yang mengenai tiang atas gawang Neuer, memantul ke tanah, kemudian keluar lagi. Wasit menyatakan tidak terjadi gol, namun rekaman tivi jelas-jelas memperlihatkan bahwa bola 100% telah melewati garis gawang Jerman. Apabila gol tersebut diakui, kedudukan akan berubah menjadi 2-2, dan Inggris berada pada kondisi mental yang bagus. Segala hal bisa terjadi. Namun pada akhirnya gol tersebut tetap tidak diakui, Inggris harus menyerah 4-1. Perdebatan dan ketidakpuasan atas keputusan itu memang tidak akan pernah berakhir, namun sudah dipastikan bahwa pertandingan telah berakhir, dan hasilnya telah tercatat dalam sejarah. Sedahsyat apapun debat dan adu argumen yang dilakukan tidak akan mengubah hasil itu.