04 Mei 2012

Gracies Pep

 
Saya menulis ini dengan semangat yang tipis sekali. Ya, meskipun keputusan itu sudah dibuat sejak akhir April lalu, saya baru benar-benar berniat untuk menggerakkan jari saya hari ini. Selain merupakan hal yang cukup menyedihkan, topik panas akhir pekan lalu juga membuat artikel saya sebelumnya menjadi (hampir) tak berguna. Ya, sutradara utama yang berhasil membawa Barcelona menjadi salah satu tim terbaik dalam sejarah itu memutuskan untuk berhenti sementara dari gemerlap dunia sepakbola. Josep "Pep" Guardiola i Sala memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya dengan Barcelona. Sebuah keputusan yang sangat disayangkan tidak hanya oleh para pemain dan mayoritas fans Barca, tapi juga para pengamat dan penikmat sepakbola. Disayangkan bukan hanya karena keberhasilannya yang selama ini mendatangkan banyak prestasi, tapi juga filosofi dan pendekatannya kepada permainan dan attitude pemain yang berhasil diterapkan kepada para pemain Barcelona. Setelah era Milan-nya Sachhi dan Barcelona-nya Cruijf, Guardiola dianggap mampu menghadirkan kembali sebuah sepakbola indah sebagai perwujudan filosofi permainan sepakbola yang sesungguhnya.


Pep Guardiola memutuskan untuk mundur sementara dari dunia sepakbola, karena dia merasa "kelelahan". Menurut dia, empat tahun menangani Barcelona menyita energi yang luar biasa mengingat tekanan besar dalam meng-handle tim besar. Apalagi jika kita ingat prestasi sensasionalnya di musim pertama yang berhasil membuat semua mata penggemar sepakbola dunia mengarah ke dirinya. Guardiola juga menegaskan bahwa segala rumor tentang kepindahannya ke klub lain hanya isu belaka. Saat ini Pep hanya ingin beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarga.

Menurut saya, Pep adalah manajer sepakbola yang ideal. Berusia muda (41 tahun!!!), berwawasan luas, berpengalaman, mantan pemain kelas dunia, dan berhasil menangani sebuah tim besar dengan filosofi dan sejarah yang kuat, serta sukses menuangkan ide di kepalanya kepada kanvas lapangan bola yang dilukis dengan kuas pemain-pemain berkualitas yang mayoritas hasil binaan sendiri dan menggunakan tinta permainan tiki taka yang mengalir indah sebagai pengembangan total football. Hasilnya, 13 trofi yang berhasil diraih dalam kurun waktu empat tahun saja. Bisa saja menjadi 14 jika di sebelum pensiun Pep berhasil memenangkan Copa Del Rey. Tidak hanya membentuk sebuah tim juara, Pep juga mencontohkan attitude luar biasa yang layak dicontoh. Pep tidak mencari-cari kesalahan ketika kalah. Pep tidak menggunakan kata-kata ofensif ketika berbicara dengan media. Pep tidak mengagung-agungkan kemenangan. Pep tidak memiliki kecenderungan menyalahkan wasit atau faktor-faktor "X" lainnya. Pep tidak ego-sentris, dan senang memberikan dukungan moral kepada pemainnya. Saya belum pernah melihat Pep tidak berjabat tangan dengan manajer tim lawan seusai pertandingan, baik itu menang maupun kalah. Pep selalu memberikan respek kepada lawan-lawannya. Empat tahun berkarir sebagai manajer, Pep hampir tidak punya "musuh". Bahkan seorang Mourinho-pun tertular untuk menjadi lebih kalem dan tidak se-arogan musim-musim sebelumnya.. Dari Pep kita belajar bahwa untuk menjadi seorang yang besar, kita tidak perlu mengkerdilkan orang lain. Bahwa pencapaian kita dicapai atas usaha keras yang kita lakukan sendiri, tidak bergantung kepada hal-hal lain. Caranya mengembangkan pemain muda, menjabarkan strategi pada anak didiknya, dan caranya mempresentasikan diri pada dunia sangat luar biasa.

Pep tidaklah melakukan revolusi besar-besaran di Barcelona. Pep hanya mengembangkan filosofi yang telah terbangun sejak dulu di klub itu, termasuk dasar-dasar Total Football-nya. Pep sendiri adalah salah satu pemain kunci ketika Johan Cruijf membawa Barcelona berjaya merajai Eropa. Bisa belajar langsung dari sang maestro Total Footbal membuat Pep mampu mewujudkan Barcelona dengan tiki-taka nya seperti saat ini. Pep telah berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu melakukan hal yang sama baiknya, jika bukan lebih baik, dari mentornya itu.

Cukup disayangkan Pep mundur ketika Barcelona sedang "limbung", ketika gelar La Liga yang sudah dipeluk selama tiga tahun berturut-turut terlepas ke tangan sang rival abadi, dan kesempatan untuk jadi Juara Liga Champion berturut-turut pertama kali di dunia digagalkan oleh strategi pertahanan luar biasa yang digalang Roberto Di Matteo dengan Chelsea-nya. Berdasarkan standar biasa, sebenarnya musim ini tidak bisa dibilang buruk. Barcelona telah meraih tropi Super Spanyol, Super Eropa, dan menjuarai Piala Dunia Antar Klub. Tapi dalam standar Barcelona, kehilangan kesempatan meraih dua gelar paling prestisius di Eropa bukanlah hal baik. Namun memang tidak mudah mempertahankan semangat tim untuk selalu ada di puncak performa secara stabil, ketika semua hal yang mungkin diraih sudah pernah dialami. Mayoritas pemain Barcelona adalah pemain timnas Spanyol. Jika Barcelona sudah meraih seluruh gelar yang mungkin didapat, maka Spanyol juga sedang berada pada performa puncak karena saat ini berstatus juara bertahan Piala Eropa dan Piala Dunia. Musim ini sangat terlihat penurunan gairah para pemain Barcelona itu, terutama ketika menghadapi lawan yang memiliki pertahanan ketat dan disiplin.

Pada akhirnya, keputusan Pep ini bisa dimaklumi. Bagaimana mungkin ada seorang pelatih muda yang tiba-tiba datang dengan penuh keraguan, lalu menjawab semua itu dengan prestasi luar biasa yang fenomenal? Itu karena banyak energi yang meluap di pikiran Pep hasil pengembaraannya bertahun-tahun di dunia sepakbola. Ketika energi itu menipis, ini saatnya untuk sejenak melonggarkan konsentrasi, me re-charge energi itu, dan mempelajari hal-hal baru yang nantinya bisa digunakan untuk menyempurnakan legacy-nya, entah itu di Barca lagi, di tim lain, atau dalam bentuk lain.
Pengganti Pep kelak adalah asistennya saat ini, teman seangkatan Pep di La Masia, dan seseorang yang telah mengenal Barcelona dengan cukup baik. Dia adalah Tito Vilanova. Mungkin banyak suara yang meragukan kapasitas Tito, apalagi jika dibandingkan dengan sosok Pep, meskipun Tito adalah orang yang ikut berperan besar di balik karya emas Pep selama ini. Apalagi dengan semakin meyakinkan nya si rival abadi, Real Madrid, di bawah kendali manajer jenius lainnya, Jose Mourinho. Tapi melihat keyakinan Pep sendiri dan segenap direksi Barcelona dalam mengambil keputusan ini, optimisme masih terjaga. Toh, empat tahun lalu, siapa yang yakin pada kemampuan Josep Guardiola?

Mungkin ini menjadi akhir (sementara) bagi kisah seorang Josep Guardiola, namun kisah FC Barcelona akan selalu terus berjalan.
Gracies, Pep. 
Visca Barca.

0 komentar:

Posting Komentar