30 Maret 2013

Mengidolakan Figur, Cara Termudah Menyukai Dunia Baru

Saya rasa, cara paling mudah untuk mulai menyukai sebuah olahraga yang menurut kita baru, adalah dengan mengidolakan figur atlit nya. Pertama kali saya suka basket karena melihat aksi Michael Jordan di Chicago Bulls. Pertama kali suka badminton karena kesuksesan Susi-Alan mengawinkan emas olimpiade. Pertama saya menyukai Formula 1 karena ketangguhan Mika Hakkinen menghadang Michael Schumacher. Pertama kali benar-benar tertarik pada MotoGP karena kiprah Valentino Rossi yang menjanjikan duel ketat meskipun start dari posisi tengah. Awal-awal saya menikmati tontonan sepakbola juga karena figur. Beberapa diantaranya adalah Ronaldo dan Zinedine Zidane.

Ketika SMA, cukup banyak teman-teman cewek saya yang melek bola. Bahkan beberapa diantaranya justru jadi tempat saya bertanya. Mayoritas karena mengidolakan figurnya. Saat itu yang paling terkenal adalah tiga orang bernomor punggung tujuh yang memang level kegantengannya hanya sedikit di atas saya. David Beckham di Manchester United, Raul Gonzales di Real Madrid, dan Andriy Schevchenko di AC Milan. Jarang sekali saya temui teman cewek yang mengidolakan Ronaldo atau Ronaldinho.

Dari kekaguman personal ini ada yang sangat fanatik sehingga kemudian menyukai setiap tim tempat sosok tersebut bergabung. Seperti misalnya ada fans Chelsea yang kemudian memperhatikan Inter Milan dan Real Madrid ketika Jose Mourinho pindah kesana. Atau sebagian fans Manchester United yang ikut mengidolakan Real Madrid karena faktor David Beckham atau Cristiano Ronaldo.

Namun banyak juga yang memulai dengan menyukai figur lalu kemudian tergiring perhatiannya untuk sedikit demi sedikit mencari hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti latar belakang, riwayat masa kecil, interests-nya, dan di klub mana dia dikontrak serta alasan kenapa dia ada disana. Figur menggiring pada klub, sehingga kemudian mulai muncul fanatisme pada klub atau tim tertentu. Fanatisme itu bisa berupa mencintai, bisa juga membenci. Seperti saya yang dulu begitu mengidolakan Manchester United dan membenci Inter Milan. Ketika mulai mencintai sebuah klub atau tim, maka hampir secara otomatis akan ikut mengidolakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Those who loves Michael Jordan will loves Scottie Pippen, Dennis Rodman, and Phil Jackson too. Fans MU mungkin pernah merasakan kehilangan Jaap Stam dan David Beckham, dan mungkin juga pernah "terpaksa" menyukai Cristiano Ronaldo.

Bisa juga kesukaan pada figur selanjutnya membawa kita menyukai bidang yang dia geluti lebih dari sekedar fanatisme pemain atau klub. Betapa nikmatnya pernah menyaksikan pertarungan Rooney dan van Persie yang kemudian justru menjadi teman satu tim. Betapa asiknya menyaksikan Cristiano Ronaldo ditangani eks pelatih tim rivalnya. Luar biasa rasanya melihat tim yang diisi Veron dan Nedved bersaing ketat dengan enam tim lainnya dalam memperebutkan Gelar Juara Liga Italia. Betapa manisnya romantisme juara di menit akhir ala MU-Muenchen atau getirnya kehilangan gelar, juga di menit akhir ala rivalitas MU-City. Rasa bahagia sepanjang masa ketika Ahmad Bustomi dan teman-teman Arema-nya menjadi juara Liga Super Indonesia. Dan mungkin saja suatu saat akan ada sebuah legenda kisah epic keruwetan pengurusan sepakbola yang berhasil terurai, dan Indonesia akhirnya lolos ke Piala Dunia.

Kemanapun akhirnya rasa suka itu terbawa, menyukai figur adalah cara termudah memasuki sebuah dunia baru. Apalagi sepakbola, dunia yang sangat menarik tidak hanya bagi para pelaku, tapi juga penggemar dan analis.

United, Semoga....

Sejak kuartet Giggs-Scholes-Keane-Bechkam tidak lagi menjadi kerangka utama Manchester United, bisa dibilang lini tengah MU kehilangan gemerlap dan dominasi. Memang MU masih berprestasi di Inggris, termasuk mengambil alih tahta pengkoleksi gelar juara EPL terbanyak dari Liverpool, tapi jika dibandingkan dengan klub-klub lain, baik di Inggris maupun di eropa lainnya, MU terbilang tidak terlalu menakutkan. Sebagai contoh, Chelsea. Sejak Chelsea memasuki era sugardaddy-nya, lini tengah Chelsea tergolong seram. Dikomandani sang kapten legendaris Frank Lampard, pernah didampingi nama-nama seperti Makelele-Essien-Robben atau sekarang Mata-Hazard-Oscar-Ramires. Belum lagi jika dibandingkan dengan klub tetangga, Manchester City yang tidak kalah mahalnya. Kurang mengkilap apalagi kombinasi Silva-Toure-Nasri-Barry? Belum lagi nama seperti De Jong, Vieira, dan Wright-Philips. Belum termasuk jika dibandingkan dengan tim-tim rival MU di eropa seperti Bayern Munich, Barcelona, dan Real Madrid.

Memang, MU pernah membeli Juan Sebastian Veron, Owen Hargreaves, Kleberson, Djemba-djemba, tapi semuanya gagal bersinar. Bintang paling gemerlap pastilah lahir dan berkembangnya si monster Cristiano Ronaldo, yang justru kemudian membuat MU menjadi Ronaldo-sentris. Beberapa tahun belakangan, MU seringkali tidak bermain indah dan penuh semangat seperti dulu, bahkan kadang terlihat cukup puas dengan kemenangan tipis tanpa bernafsu lagi untuk menambah gol. Tapi si Jekyll United juga punya sisi Hyde. Dalam kondisi tertentu, MU bisa berubah menjadi tim dengan determinasi sangat tinggi dan permainan menyerang yang menakutkan. Terutama ketika dalam posisi tertinggal. Jekyll United bisa susah payah melawan Southampton untuk kemudian Hyde United menang besar lawan Chelsea.

Sebagai fans dari sebuah tim besar Inggris yang stabil dari sisi performa, prestasi, basis fans, dan keuangan, tentunya saya berharap MU bisa kembali memiliki skuad lini tengah yang menjanjikan dominasi dan keindahan permainan. Cleverley menjanjikan permainan cepat dengan passing pendek akurat, tapi perlu lebih banyak jam terbang. Kagawa sepertinya akan diusahakan Fergie untuk bisa didapuk pada posisi false 9. Carrick memang sudah menjadi destroyer dan pemula serangan. Valencia adalah pemain sayap klasik yang kadang tidak stabil. Young punya kecepatan menyisir pinggir lapangan. Dan Giggs memiliki segudang pengalaman. Namun semuanya belum membentuk sebuah unit sempurna ala Iniesta-Xavi-Busquet atau Alonso-Ozil-Ronaldo atau Schweni-Robben-Ribbery.

Dengan memiliki Rooney-RvP-Welbeck-Chicharito, saya rasa stok lini depan MU cukup garang. De Gea pun semakin menanjak. Deretan bek-bek muda MU juga makin matang. MU perlu memperhebat Cleverley, mengeluarkan potensi Kagawa, atau membeli pemain tengah yang berkarakter kuat, seperti misalnya Fellaini-nya Everton atau Alonso-nya Madrid dengan harapan akan terjalin stabilitas attack-defense yang menggaransi rekan-rekan lain untuk berkreasi maksimal. Sebuah peran yang dulu dilakukan dengan sangat baik oleh Roy Keane.

Semoga kelak MU kembali menjadi tim paling dominan dunia, dan berhasil membalaskan dendam atas kekalahan menyakitkan atas tim besar seperti Barcelona dan Real Madrid, tanpa harus menunggu masa kejayaan mereka berakhir. Serta kembali menghasilkan pemain-pemain bintang berusia muda yang mengkilap, gemerlap, dan dominan.