25 Juni 2018

Another Pep Effect

Fase grup Piala Dunia 2018 sebentar lagi berakhir, melahirkan banyak sekali drama yang cukup mengejutkan. Spanyol nyaris tidak lolos grup, Argentina harus tanding mati-matian lawan Nigeria, Brazil-Jerman-Perancis pun susah payah. Yang tampil digdaya justru Belgia dan Inggris, dua tim yang diisi bintang-bintang Liga Inggris. Buat saya ini cukup menarik.

Pada gelaran Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, yang jadi juara dunia adalah Spanyol. Kala itu Spanyol bermain sangat cantik, dimotori oleh trio pemain kunci Barcelona, yaitu Iniesta-Xavi-Busquets. Di saat yang sama itu pula, Barcelona sedang gila-gilanya, dominan di Liga dan di Eropa dengan identitas gaya permainan sepakbola yang melegenda. Pemain Barcelona mendominasi susunan roster timnas Spanyol. Selain tiga pemain tadi juga ada Pique, Puyol, Pedro, dan Valdes. Rasa-rasanya waktu itu Vicente Del Bosque, pelatih Spanyol, tinggal kasih satu instruksi sederhana : bermainlah seperti Barcelona. VdB tinggal duduk manis setelah itu, dan hasilnya : juara.

Kemudian di Brazil, Piala Dunia 2014 dimenangi oleh Jerman. Jerman yang sangat kolektif didominasi oleh para pemain Bayern Muenchen, seperti Muller, Lahm, Kroos, Neuer, Gotze, Boateng, dan Schweinsteiger. Kekompakan para pemain itu di level klub bisa tertular ke timnas, sehingga lebih mudah untuk menciptakan kohesi dan chemistry, lalu sukses membawa Jerman ke pencapaian tertinggi di tahun itu.

Dua negara itu, Spanyol di 2010 dan Jerman di 2014, memiliki satu kesamaan yang menarik, yaitu Liga lokal negara-negara itu sedang didominasi oleh tim yang dilatih oleh satu orang yang sama : Josep Guardiola. Ya, Pep adalah pelatih Barcelona di 2010, yang baru saja memborong 6 tropi di awal musim, dan kembali jadi juara liga di akhir musim. Pep juga pelatih Bayern Muenchen di tahun 2014, dimana Pep selalu dominan di Bundesliga meskipun selalu gagal di Liga Champion.


Photo by Gareth Copley/Getty Images

Di tahun 2018 ini, kondisi yang mirip kembali terulang, dimana Pep Guardiola sedang melatih sebuah klub yang sangat dominan di Liga lokalnya, padahal dalam beberapa tahun terakhir Liga itu sedang sangat kompetitif dan tak terduga. Pep Guardiola sedang menjadi manajer dari Manchester City, yang baru saja jadi juara Liga Inggris dengan berlari ngebut sendirian meninggalkan para rival di belakang. Pep Guardiola sedang mengubah Liga Inggris menjadi Liga Perancis atau Liga Jerman. Perbedaan yang paling mencolok dibanding dua kondisi sebelumnya adalah bahwa kali ini pemain-pemain kunci Pep di klubnya bukanlah tulang punggung tim nasional. Jika waktu itu di Spanyol dan Jerman diisi 7 pemain dari klub yang sedang ditangani Pep, di Piala Dunia kali ini timnas Inggris hanya dihuni empat pemain Manchester City, yaitu John Stones dan Kyle Walker sebagai pemain belakang, Fabian Delph di tengah (atau belakang), dan Raheem Sterling di depan. Memang Walker-Stones-Sterling adalah starter yang berperan penting, namun di timnas Inggris tidak berperan sebagai otak permainan.

Timnas Inggris tahun ini sebenarnya relatif kurang bertabur bintang jika dibandingkan era-era sebelumya. Pemain yang paling bersinar adalah Harry Kane. Inggris tidak punya superstar macam Messi, Ronaldo, De Bruyne, Neymar, Modric, ataupun Pogba. Namun dalam dua pertandingan awalnya, permainan Inggris yang menang tipis di game pertama melawan Tunisia kemudian bangkit dan sukses menghajar Panama. Memang kemenangan lawan Panama belum terlalu bisa dibanggakan, tapi paling tidak Inggris sudah menemukan ritme yang lebih baik di game kedua mereka. Bisa jadi soliditas lini belakang yang dikomandoi duo Manchester City berperan penting disana.  Menarik sekali untuk melihat game ketiga Inggris nanti ketika menghadapi Belgia yang sama-sama eksplosif, dan sama-sama dipenuhi pemain yang bermain di Liga Inggris.

Jika berpatokan pada pola sejarah, dan memperhatikan kesamaan-kesamaan itu, bukan tidak mungkin Inggris bisa menghapus kutukan mediokrisi yang selama ini menjangkiti mereka di gelaran Piala Dunia, dan melaju cukup jauh. Apalagi didukung dengan permainan kurang meyakinkan dari tim-tim unggulan.

Pep Guardiola bisa menularkan auranya pada Spanyol di tahun 2010 dan Jerman di 2014, maka tidaklah berlebihan jika Inggris yang tadinya dikenal dengan tim medioker meski bertabur bintang, di tahun ini berubah menjadi tim bintang meski berisi pemain-pemain muda medioker. Saya bukan fans timnas Inggris, atau malah bukan fans timnas manapun di Piala Dunia kali ini, tapi melihat tim seperti Belgia dan Inggris bermain bagus dan menang, saya cukup bahagia.

Setelah sekian lama, para fans Inggris mungkin bisa berharap pada Another Pep Effect.
 
-maheinberg, 2019-

29 Mei 2018

Bisakah Cavaliers Mengalahkan Warriors?


Maka terjadilah sudah, empat tahun berturut-turut final NBA mempertemukan Cleveland Cavaliers dan Golden State Warriors. Saya sendiri cukup sebel, karena sebenarnya menginginkan atmosfir final yang berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Apa daya pertempuran kali ini masih merupakan pertarungan Superman versus Superteam itu.

Dibanding beberapa tahun terakhir, NBA tahun ini sebenarnya sangat menarik karena beberapa hal :

Pertama, banyak rookie yang menarik perhatian dengan menjadi orang penting di tim nya. Fultz kurang oke karena cidera, Lonzo Ball tampak bagus sebagai playmaker meskipun kalah mentereng dari Kyle Kuzma si rookie draft pick 27 yang mainnya lebih dahsyat, Jayson Tatum bisa menutupi ketiadaan Gordon Hayward, bahkan mungkin lebih bagus, hingga nyaris mengantar Celtis ke final sekaligus hampir menyamai rekor Kareem Abdul-Jabbar di total poin playoff oleh rookie. Ben Simmons memimpin Sixers menjadi stabil sepanjang tahun, Donovan Mitchell menjuarai dunk contest dan langsung menjadi superstar utama Utah Jazz, Lauri Markkanen jadi andalan Bulls, dan performa meyakinkan dari nama nama seperti Dennis Smith Jr, Bogdan Bogdanovic, dan Josh Jackson.

Kedua, Juara Wilayah yang baru. Timur dipimpin oleh Raptors, dan barat tidak lagi dijuarai Warriors, melainkan Rockets.

Ketiga, persaingan sangat merata. Pertarungan menuju playoff terus terjadi hingga mendekati akhir musim. Satu kali kekalahan saja bisa membuat peringkat melorot 3-4 tingkat. Setiap pertandingan jadi punya arti, dan seru untuk ditonton.

Keempat, Playoffs pun sangat kompetitif. Ya, mungkin pengecualian untuk Raptors-Cavs. Hampir semua pertandingan sangat menarik untuk ditonton, karena sama-sama punya peluang untuk saling mengalahkan. Bahkan final wilayah, baik barat maupun timur, sama-sama harus sampai game 7.


Namun hal-hal menarik itu menjadi kurang mengejutkan ketika akhirnya tim yang bertemu di Final ya itu-itu lagi. Tadinya saya membayangkan apa yang akan terjadi jika Brad Stevens bisa membawa Irving-less Celtics menghadapi Rockets yang dikomandoi CP3, atau paling tidak, penasaran bagaimana defense ketat Celtics dalam membendung badai three points Warriors, atau mampukah Capella atau Tucker menghadang LeBron James. Kini semua harapan itu musnahlah sudah. Saya harus menghadapi kenyataan bahwa LeBron Thanos James lagi-lagi harus berperang melawan Warriors' Avengers.

Diatas kertas, tidak sulit meramal hasil pertandingan final ini. Skuad inti Warriors tetap sama, dengan dukungan bench yang tidak kalah hebatnya dengan tahun lalu, meskipun kali ini Iguodala sedang cidera. Masalahnya ada di Cavaliers nih. Tahun lalu ketika masih ada Irving saja, Cavaliers tumbang 4-1. Itupun susah payah dalam meraih kemenangan yang satu itu. Nah tahun ini LeBron James tidak memiliki partner yang lebih meyakinkan daripada Irving, apalagi Kevin Love sedang cidera pula. Maka akan sangat sedikit yang meramalkan Cavaliers bisa menang. Bahkan bukan tidak mungkin tahun ini Warriors akan melakukan sweep.

Maka final ini terasa seperti anti klimaks atas serangkaian keseruan yang terjadi sepanjang musim, termasuk Playoffs nya.

Namun sebaiknya kita tidak meremehkan LeBron James begitu saja. Masih ada peluang yang akan membawa Cavs mengalahkan GSW, atau paling tidak menyajikan pertarungan seru.

Pertama, semangat balas dendam. Seperti yang dibilang Pak Guru di sekolah, mempertahankan lebih sulit daripada merebut. Ini bisa jadi pembakar semangat utama LeBron James dan pengikutnya.

Kedua, tidak mengikuti tempo cepat Warriors. Houston Rockets bisa mengalahkan Warriors di game 4 dan 5 Final Barat salah satunya karena faktor Chris Paul yang mampu mengatur tempo permainan, thanks to kemampuan dribble dan playmaking nya yang super, plus ketenangannya dalam mencetak poin ketika rekan-rekannya yang lain sulit memasukkan bola ke keranjang. Cara ini bisa diadopsi Cavs supaya Warriors nggak seenaknya aja poan poin, shat shoot shat shoot sana sini. Lha tapi siapa yang pegang bola? Mau nggak mau ya LBJ. Siapa yang bakal berjuang cetak poin? Siapa lagi, ya LBJ juga.

Ketiga, LeBron James tetap sehat wal afiat. Most Point : LBJ. Most Assist : LBJ. Most rebound : LBJ top three lah. Most minutes : LBJ. Most block : ya mungkin LBJ juga. Kalo LBJ nggak fit, apalagi cidera, ya selesai.

Keempat, semoga para shooter Cavs bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Masak udah nggak bisa jaga possession, kalah rebound, nggak bisa nge lock musuh, disuruh shoot masih gagal juga? Mbok ya jadi teammates yang berguna. Lha wong sebenarnya Shooternya banyak. Korver, Smith, Green, Hill, Love, dan (lagi-lagi, meskipun nggak terlalu) LBJ. Rockets kalah di game 7 salah satu faktor terbesarnya adalah gagal masuk three point 27 kali berturut-turut. Masuk 4 saja sebenernya udah bisa bikin Rockets ke final. Dikawal roster yang sangat berpengalaman (baca : tua), seharusnya kendala mental pemain Cavs lebih bisa di manage dengan baik.

Kelima, hustle defense. Sepanjang musim, defense Cavs tidak cukup meyakinkan. Peringkat kedua dari bawah!! Rockets yang rating defense nya nomor 6 saja tetep kalah lawan GSW, gimana yang peringkat 29? Tapi tenang, di playoff rating defense Cavs naik ke peringkat 7, mengungguli Rockets, Bucks, dan Spurs. Jadi pada dasarnya Cavs tetap punya kapasitas untuk bertahan ketat yang bikin lawan frustrasi, apalagi Tristan Thompson yang udah balik bisa rebound lagi, dan Larry Nance yang nggak takut berduel dengan mengandalkan badannya yang atletis. Sayangnya Love masih meragukan untuk tampil di game 1. Remember, good offense can win you a game, good defense will win you a championship. Lalu, tim mana yang defense rating nya paling bagus selama playoff? Dia adalah, Warriors. Nah lo.....

Defensive Rating NBA 17/18, Reguler Season :


Defensive Rating NBA 17/18, Playoffs :


Keenam, konspirasi NBA dan bandar judi. Nggak seru kan kalo final NBA cuman 4 game. Ada potensi penghasilan yang hilang dong? Penghasilan bandar judi juga berkurang dong? Makanya jumlah game harus dipertahankan sebanyak mungkin demi makin bertambahnya pundi-pundi kekayaan mereka.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, yang paling saya inginkan dari game ke game di NBA ini adalah drama nya. Entah itu sedih, senang, kecewa, ataupun hyper-excited. Mengingat terlalu banyak kekecewaan yang muncul dari sepakbola, dengan gagalnya Barcelona di UCL, Lazio gagal masuk UCL tahun depan, MU nggak dapet piala apa-apa, dan Arema yang bikin tepok jidat, maka antusiasme mengikuti NBA makin membesar, dan berharap mendapatkan hiburan yang membuat hari-hariku menjadi cerah ceria.

Yah, kans Warriors memang tetap lebih besar untuk menang, dan mungkin itu akan menjadi bekal kuat buat tim lain untuk lebih serius mempersiapkan diri jelang musim depan demi meruntuhkan hegemoni The Avengers ini, karena tampaknya empat (plus satu) pemain terbaik mereka masih akan tetap bermain bersama musim depan. Saya sendiri memberikan respek yang sangat tinggi terhadap para superstar Warriors yang sepertinya meletakkan pencapaian pribadi dan tingginya gaji di tempat yang lebih rendah daripada pencapaian tim secara keseluruhan, untuk membentuk supertim yang hebat secara individu sekaligus padu secara tim. Namun atas nama kebutuhan drama dan kebosanan yang melanda, saya dukung siapapun untuk jadi juara, selama itu bukan Golden State Warriors.



Btw, disarankan untuk menanggapi poin keenam diatas dengan tidak serius.

-maheinberg, 2018-

27 Mei 2018

Bukan Saat Yang Tepat Untuk Berbahagia (Fans Barcelona Lagi Ngomel)

Ini adalah masa-masa sulit sebagai Fans Barcelona. Bahkan domestic double pun tidak mampu mengurangi kemuramannya.
( gambar dari : sini )

Yang harus disalahkan pertama adalah Pep Guardiola. Dia bersalah karena sempat meletakkan standar yang begitu tinggi dan ideal yang nyaris tercapai. Guardiola lah yang bertanggung jawab pada permainan kolektif yang sangat menghibur, dan membawa Barcelona menjadi tim yang dominan, merajai dunia, serta menjadi standar bagaimana sepakbola itu harus dimainkan. Dalam prosesnya, Guardiola membangun pondasi permainan tim dari pemain-pemain yang berasal dari akademi sendiri, sekaligus mempersiapkan beberapa pemain lain dari La Masia untuk diharapkan menjadi pemain kunci di masa yang akan datang. Permainan menghibur, bintang-bintang besar, diisi pemain akademi sendiri, dominan, dan prestasi yang terus mengalir yang juga berarti banyak penghasilan untuk klub, sebuah kombinasi yang mengundang banyak orang untuk mencintai, yang datang dengan ekspektasi sangat tinggi, tanpa sadar bahwa kondisi seperti itu belum tentu datang 10 tahun sekali. Standar tinggi itu selalu terpatri di benak mayoritas fans Barcelona, sehingga sulit menjadi bahagia dan dibahagiakan. Bayangkan, Luis Enrique berhasil membawa Barcelona mendapatkan treble, tapi banyak yang memintanya untuk dipecat. Valverde sukses mendapat gelar La Liga dan Copa Del Rey, tapi hashtag #ValverdeOut juga merebak bahkan sejak tengah musim, padahal sepanjang musim hanya sekali kalah di Liga.

Yang bersalah kedua adalah Real Madrid. Ya tentu saja dari kacamata fans Real Madrid ini bukanlah kesalahan. Terbayang betapa ringannya jadi fans Real Madrid. Sepuluh tahun hanya dapat satu gelar Liga adalah hal yang biasa saja, toh semua tertutupi dengan empat gelar Liga Champion dalam 5 tahun terakhir. Barcelona dapat tujuh, lho. TUJUH. Tujuh banding satu ya lumayan lah ya. Bandingkan dengan Liga Champion, dalam 10 tahun terakhir Barcelona bisa mengumpulkan tiga, dibandingkan dengan empat milik Madrid. Tidak terlalu jauh memang, tapi Madrid melakukan itu dengan dahsyat, karena tiga diantaranya berturut-turut, ditengah mitos sebelumnya bahwa sekedar mempertahankan juara saja sangat sulit. Bahkan (arguably) The Best Barcelona in history saja empot-empotan dalam mengejar itu tanpa pernah meraihnya. Dalam rentang 10 tahun itu pula, Barcelona meraih dua treble, yang salah satunya sapu bersih seluruh kompetisi lainnya. Itupun bukan hal yang istimewa-istimewa amat di mata fans Barcelona, selama mereka tidak bermain dengan indah, dalam standar masing-masing tentunya. Perbedaan standar kebahagiaan ini membuat hidup fans Barcelona sebenarnya dipersulit sendiri. Ya, saya juga.

Ketiga, faktor Zinedine Zidane. Awalnya banyak yang menganggap bahwa Zidane akan menjadi Guardiola-nya Madrid. Legenda di timnya, pernah menanangani tim junior, lalu membawa tim senior menuju kejayaan. Bedanya kemudian, Zidane lebih terlihat menonjol dalam man management yang mampu membuat para pemainnya percaya dan mengeluarkan kemampuan optimalnya, namun tidak mencatatkan identitas pada pola permainannya. Mungkin bagi sebagian orang itu adalah kelemahan, tapi lama-lama bisa jadi itulah kelebihannya. Semua lawan Real Madrid selalu menduga apa yang akan dilakukan Zidane, bisa baik dan juga bisa buruk. Bahkan di kalangan fanbase, termasuk fanbase Real Madrid sendiri, Zidane tidaklah dikenal sebagai tactical genius. Tadinya sayapun meremehkan kemampuan Zidane, dan menganggap kejayaan Real Madrid di Liga Champion banyak didukung faktor kebetulan. Tapi kalo bisa konsisten meraih juara hingga empat kali dalam lima tahun, keyakinan terhadap kebetulan tersebut harus dipertanyakan. Mungkin Zidane sengaja menjebak pikiran semua orang bahwa dia agak abal-abal, tapi kemudian menghajar siapapun yang meremehkan dia.

Keempat, Cristiano Ronaldo. Untuk sebagian fans Barcelona, perbandingan Messi vs Ronaldo tidak pernah ada, karena sekedar dibandingkan aja udah nggak pantes. Messi sejak awal sudah tak tertandingi tak sekedar karena kemampuannya mencetak gol, tapi juga memahami permainan, kemampuan memberikan assist, kebisaan playmaking khas La Masia, dan membawa timnya menjadi dominan siapapun yang ada di sekitarnya, bahkan dengan mengisi posisi yang berbeda-beda. Ibaratnya, ketika ada yang menganggap bahwa Ronaldo bisa disejajarkan dengan Messi, maka orang itu sudah dianggap beda "agama" dan pemahaman dalam sepakbola, sehingga debat tidak perlu dilanjutkan karena hanya akan meributkan "keyakinan", dan nggak bakal ada ujungnya. Sayangnya, Ronaldo pernah berprestasi besar dengan negaranya dengan meraih Piala Eropa, meskipun di final dia hanya berjuang dari pinggir lapangan. Sementara Messi yang membawa timnya yang semenjana menuju final turnamen penting tiga kali berturut-turut tetap dianggap fraud karena selalu gagal menjadi juara. Ronaldo juga berhasil menyamai raihan Ballon D'Or Messi, sehingga tema ini tidak lagi bisa jadi bahan untuk disombongkan. Di saat yang sama, ketika Messi sudah melewati Ronaldo dalam meraih sepatu emas sebagai pencetak gol terbanyak eropa, hal itu menjadi hal biasa saja, padahal seharusnya ini juga membuktikan bahwa "Ronaldo is the better scorer" tidak lagi valid. Lagi-lagi semua agak tertutup kenyataan ketika Ronaldo sudah memegang lima piala Liga Champion, sementara Messi baru tiga. Nah, ketimpangan antara keyakinan dan tulisan raihan itu cukup mengganggu tidur malam hari.

Kelima, barisan pengurus Barcelona. Well, yang ini lebih serius sekaligus mengawang-awang, karena sumber informasinya hanya dari berita. Dulu, jaman Real Madrid mengumpulkan para superstar sehingga akhirnya dijuluki Los Galacticos, Florentino Perez dianggap hanya mementingkan marketing tim tanpa benar-benar mengejar prestasi. Buktinya, pemain yang dibeli adalah para pemain bintang, tapi prestasi biasa saja, tidak istimewa. Tapi sekarang berbeda, ketika filosofi Los Galacticos tidak lagi dianut, Real Madrid justru banyak percaya pada pemain muda yang sebagian berasal dari akademi sendiri, dan banyak merawat pemain asli Spanyol, dengan otak permainan tetap bertumpu pada pemain tengah yang mampu mendikte permainan dan sangat hebat dalam mempertahankan bola. Sebuah filosofi yang "sangat Barcelona". Lalu lihatlah Barcelona sekarang. Semua dimulai dengan dijualnya Thiago ke Bayern Muenchen. Bukan benar-benar dijual sih, tapi klausul kontrak menyatakan bahwa release clause Thiago cukup rendah, namun akan menjadi tinggi jika memenuhi jumlah jam main tertentu. Kemudian Thiago jarang dimainkan, dan dia bebas memilih bermain di manapun, karena jelas tawaran yang datang tidak sedikit. Kemudian bertahun-tahun kemudian disusul dengan lepasnya Dani Alves yang ketika keluar menyatakan kekecewaannya pada pengurus. Lalu Xavi, lalu Iniesta, tanpa benar-benar direncanakan siapa yang akan meneruskan tugas mereka yang tadinya menjadi nyawa permainan indah Barcelona. Entah apa yang akan terjadi di Barcelona kelak ketika Messi tak lagi disana. Lalu Sandro Rosell dipenjara sehubungan dengan proses transaksi Neymar, posisinya sebagai Presiden diganti Bartomeu. Di 2015, mengingat prestasi Barcelona yang masih mentereng, Bartomeu kembali terpilih menjadi Presiden mengalakan Joan Laporta, sebuah hasil yang diprediksi banyak pihak akan membawa Barcelona menuju kemunduran dalam beberapa tahun ke depan. Awal musim 17/18 sesungguhnya sudah bisa menjadi tolak ukur dimana Barcelona hanya memperkuat lini tengahnya dengan pemain yang pernah gagal di Inggris, dan kemudian menjalani karir di Liga Cina, tanpa menghadirkan pemain tengah yang mampu menjadi pengatur permainan ala Xavi atau Modric. Padahal telah muncul beberapa nama, salah satunya Jean Michael Seri yang pada akhirnya juga gagal didaratkan di Camp Nou. Sementara Real Madrid yang tahun sebelumnya menjadi double winner justru dianggap memiliki skuad yang sangat lengkap dan seimbang. Superstar yang siap jadi starter, dan sekumpulan anak muda potensial yang tidak keberatan dicadangkan, tapi siap meledak ketika diperlukan. Real Madrid diprediksi akan dominan, sementara Barcelona adalah underdog. Sebuah posisi yang terbalik dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tapi ya sudahlah, inilah kenikmatan menggemari sepakbola. Apalagi dengan rivalitas sengit seperti ini, drama yang dihasilkan cukup mengaduk-aduk perasaan, itu yang paling penting. At least Barcelona kembali punya tujuan besar untuk dikejar. Kalo lagi maen Football Manager, masih ada sembilan musim lagi untuk semangat menyalip raihan Liga Champion. Kembali dominan seperti era Guardiola tampaknya terlalu berlebihan dan hanya menjadi semacam ilusi, yang penting menjaga agar tetap kompetitif dan semoga dipersiapkan dari sekarang jika kelak Messi pensiun. Liga domestik adalah uji konsistensi, Liga Champion adalah uji eksplosifitas. Terbukti Real Madrid belum konsisten untuk menjadi eksplosif di tangan Zidane meskipun dikawal pemain-pemain dengan nama besar, hal ini bisa dilihat dari hebatnya Real Madrid di Liga Champion, tapi sering kalah atau seri di La Liga melawan tim-tim kecil. Namun Barcelona juga gagal untuk menjadi eksplosif di sejumlah kecil pertandingan, tapi di masa yang sangat krusial, seperti ketika melawan AS Roma di Olimpico. Musim depan akan menjadi tes yang baru lagi, dengan kemungkinan drama yang baru pula. Saingan utama Barcelona masih Real Madrid, baik di Spanyol maupun Eropa. Mungkin akan ada Bayern Muenchen, Manchester City, Juventus, atau PSG, tapi masih sedikit tertinggal di belakang duo tim Spanyol ini. 

Momen-momen seperti inilah makin membuat saya jatuh cinta pada sepakbola.

Enjoy the moment, salam olahraga.