05 Januari 2019

MU Baru Di Tahun Baru

Sebelumnya, selamat tahun baru 2019, sodara-sodara.

Ada dua hal yang bikin saya excited di dunia sepakbola di sebulan terakhir. Yang pertama adalah menggeliatnya perhatian banyak pihak akan match fixing di sepakbola Indonesia. Pengaturan skor bukanlah hal baru di sepakbola, apalagi di Indonesia. Tapi dari dulu tidak pernah ada tindakan-tindakan yang bisa memunculkan optimisme di kalangan suporter bola tentang hal ini. Baru kali ini, dipicu oleh acara Mata Najwa yang mengangkat episode "PSSI Bisa Apa?" dan dilanjutkan dengan "PPSI Bisa Apa Jilid 2", tema pengaturan skor terangkat lagi. Ada runner angkat bicara, manajer klub sepakbola mulai bernyanyi, beberapa pentolan PSSI di masa lalu mulai banyak bercerita, para pemain mulai mengutarakan isi pikirannya, twitter dan instagram makin menggelora yang menggoda PSSI untuk mengundangnya, hingga pihak kepolisian yang membentuk satgas khusus untuk menangani ini. Secara skeptis, bisa saja ini ditunggangi orang-orang demi kepentingan politik, atau kepentingan lain selain sepakbola. Tapi dengan sebegitu ramainya dibicarakan, dan dengan mulai ditangkapnya beberapa nama yang disebut-sebut orang-orang penting dibalik skandal pengaturan skor, kita sebagai penikmat sepakbola bisalah sedikit punya optimisme bahwa masalah match fixing bisa dipetakan secara lebih detil dan jelas, sehingga akan sangat membantu untuk menanggulanginya. Ujung-ujungnya akan menghasilkan dunia sepakbola yang profesional dan menarik. Pemain bagus, masa depan cerah, dan liga yang menarik untuk ditonton. Terus terang, saya sendiri sudah sangat lama tidak mengikuti perkembangan sepakbola Indonesia, selain timnas junior yang moncer itu.

Hal menarik kedua ini lebih menyenangkan : Akhirnya Manchester United memecat Mourinho!!!!!

(source : here)

Sebagai salah satu pengikut Nabi Pep Guardiola, saya tidak suka dengan cara Mourinho menanamkan filosofi permainan pada timnya, meskipun tetap menaruh respek. Tidak suka karena sudah terbukti Mourinho hanya spesial ketika menangani tim semenjana yang memainkan sepakbola dengan pertahanan super solid dan minim inisiatif menyerang. Saya menyebutnya sebagai sepakbola reaktif, yang menunggu lawan menyerang, diredam dengan pertahanan tebal, lalu secepatnya menyerang balik, dan kemudian bertahan kembali. Namun tetap respek, karena bisa mengatur pertahanan se rapi itu pun tidaklah mudah, perlu ditanamkan karakter tertentu pada para pemainnya. Dan pertahanan super itulah yang membuat pola menyerang ala Pep bisa mendapatkan tantangan yang sebanding, untuk kemudian berkembang lagi karena selalu mencari cara untuk menembus tembok itu. Maka terwujudlah tim Barcelona yang legendaris itu.

Ya, saya tidak suka Mourinho karena saya rasa karakter permainannya hanya cocok ketika diterapkan di tim semenjana. Porto adalah kuda hitam di Eropa. Chelsea kala itu juga belum menjadi tim papan atas karena selalu di bawah bayang-bayang kehebatan Manchester United dan Arsenal. Inter dibawa meraih treble winner karena saat itu Liga Italia bukan lagi liga papan atas Eropa, dan berhasil memenangkan Liga Champion dengan bermain bertahan. Lagi-lagi saya katakan bahwa itu bukanlah hal buruk, tapi bukan permainan yang saya sukai untuk ditonton. Ketika Mou kembali ke Chelsea, dia tak bisa sukses lagi, karena Chelsea sudah jadi tim papan atas Liga Inggris, yang pride nya cukup terganggu ketika harus bermain bertahan. 
Begitupun ketika melatih Real Madrid. Memang Real Madrid sukses menghilangkan inferioritasnya atas Barcelona, namun selain itu tidaklah ada yang istimewa. Friksinya dengan Casillas yang mempengaruhi keharmonisan timnas Spanyol menjadi salah satu bukti bahwa yang paling utama untuk Mourinho adalah kejayaan pribadi, entah bagaimanapun caranya. Bagi saya, kiprah Mou di Real Madrid adalah kegagalan.

Karena itu ada aneka perasaan campur aduk ketika dulu MU mengontrak Mou sebagai manager, sebagaimana pernah saya tulis disini. Tim cinta pertama saya dilatih oleh manager yang paling tidak saya sukai. Padahal Liverpool mengontrak Klopp, dan City mengontrak Pep. MU tampak suram sekali. Hingga hampir dua tahun kemudian, belum ada tanda-tanda munculnya optimisme pada permainan MU, padahal Chelsea, Arsenal, Spurs, dan Liverpool menunjukkan perbaikan performa signifikan.

Maka sebegitu bahagianya saya ketika Mou dipecat.

Memang nggak akan bisa menjadikan MU ada di jalur juara Liga Inggris tahun ini, tapi minimal ada peluang untuk memiliki harapan baru yang sudah mentok di era Mou. Apalagi ketika yang diangkat jadi caretaker adalah si babyfaced assassin, Ole Gunnar Solksjaer. Meskipun bukan pemain inti, Solkajer adalah legenda. Striker cadangan yang sangat produktif, tidak tertinggal jauh dari duo Andy Cole dan Dwight Yorke. Tidak ada fans MU yang tidak ingat golnya (dan gol Teddy Sheringham) di final Liga Champion melawan Bayern Muenchen.

(source : here)

Solksjaer memang belum punya pengalaman melatih tim besar, namun kiprahnya ketika melatih di tim masa kecilnya, Molde, cukup menarik perhatian. Di bawah kepemimpinannya, Molde meraih juara Liga Norwegia untuk pertama kalinya. Dan salah satu hal yang sangat menarik buat saya, dalam menjalankan kepelatihannya, kadang dia menggunakan game simulasi sepakbola paling terkenal, Football Manager, untuk mengantisipasi cara-cara mengalahkan lawannya. Sebuah kabar baik untuk orang-orang sok tau yang merasa paling hebat karena bertahun-tahun sukses menjadi manager sepakbola virtual di game itu, seperti saya.

Solksjaer ada di MU ketika MU menjadi salah satu tim terhebat di Eropa dengan gaya permainan menyerang yang sangat menghibur. 91 golnya di Manchester United meskipun memulai dari bangku cadangan bukanlah catatan yang buruk. Bagi saya itu cukup menggambarkan kemampuannya membaca arah permainan, dan kemudian memanfaatkan celah-celah yang tersedia meski tidak dibekali kemampuan fisik dan teknis yang superior dibanding pemain-pemain lain. Semangat pemenang dan kemampuannya membaca pertandingan, ditambah dengan susahnya strateginya diantisipasi lawan karena relatif kurang dikenal, akan membuat MU menjadi agak susah untuk diprediksi. 

Selalu menang di lima laga awalnya, memunculkan kembali kebahagiaan ketika menonton permainan MU. MU tampil menyerang, maka mendorong para pemainnya untuk menjadi kreatif dan memanfaatkan sebaik-baiknya segala potensi yang dimiliki. MU diisi banyak pemain muda yang memiliki potential ability diatas rata-rata, akan sangat sayang apabila ditanami filosofi sepakbola bertahan. Saya yang sudah lama absen menonton pertandingan MU live di tivi, mulai memiliki keinginan untuk sesering mungkin mengintip cara Solksjaer memimpin adik-adiknya itu. Membayangkan Pogba yang trengginas ditemani Juan Mata yang cerdik, Herrera yang cerdas, atau Matic yang solid, menjadi inisiator serangan yang di eksekusi oleh para young guns yang fit dan bertenaga seperti Rashford, Martial, Lukaku, Lingard atau Alexis Sanchez. Potensinya sangat besar, berharap bisa melihat pola serangan yang mengalir, kreatif, dan enerjik. 

Pun begitu di lini pertahanan. David De Gea sudah bertahun-tahun menjadi tulang punggung pertahanan MU. Luke Shaw pernah jadi wonderkid, ini adalah waktunya untuk menjadi world class fullback setelah sekian lama dibekap cidera. Valencia dan Ashley Young memang bukan fullback murni, tapi pengalamannya menjadi pemain sayap yang suka ngebut bisa jadi bekal dalam menjadi playmaker dari sayap terluar. Juga masih ada Darmian dan Dalot yang juga pemuda berbakat. Duet starter bek tengah mungkin masih akan dihuni Lindelof dan Phil Jones, dan dibantu oleh Bailly dan Smalling. 

Tidak berlebihan jika saya berharap para pemain ini bisa direvitalisasi oleh si pembunuh berwajah bayi ini.

Sungguh di tahun baru ini menjadi semangat yang juga baru karena melihat MU yang baru. Mari kita tunggu.

Glory, Glory, Manchester United !!!
 
-maheinberg, 2020-