Sebelumnya, selamat tahun baru 2019, sodara-sodara.
Ada
dua hal yang bikin saya excited di dunia sepakbola di sebulan terakhir.
Yang pertama adalah menggeliatnya perhatian banyak pihak akan match fixing di sepakbola Indonesia. Pengaturan skor bukanlah hal baru di sepakbola, apalagi di Indonesia.
Tapi dari dulu tidak pernah ada tindakan-tindakan yang bisa memunculkan
optimisme di kalangan suporter bola tentang hal ini. Baru kali ini,
dipicu oleh acara Mata Najwa yang mengangkat episode "PSSI Bisa Apa?"
dan dilanjutkan dengan "PPSI Bisa Apa Jilid 2",
tema pengaturan skor terangkat lagi. Ada runner angkat bicara, manajer
klub sepakbola mulai bernyanyi, beberapa pentolan PSSI di masa lalu
mulai banyak bercerita, para pemain mulai mengutarakan isi pikirannya,
twitter dan instagram makin menggelora yang menggoda PSSI untuk
mengundangnya, hingga pihak kepolisian yang membentuk satgas khusus
untuk menangani ini. Secara skeptis, bisa saja ini ditunggangi
orang-orang demi kepentingan politik, atau kepentingan lain selain
sepakbola. Tapi dengan sebegitu ramainya dibicarakan, dan dengan mulai
ditangkapnya beberapa nama yang disebut-sebut orang-orang penting
dibalik skandal pengaturan skor, kita sebagai penikmat sepakbola bisalah
sedikit punya optimisme bahwa masalah match fixing bisa
dipetakan secara lebih detil dan jelas, sehingga akan sangat membantu
untuk menanggulanginya. Ujung-ujungnya akan menghasilkan dunia sepakbola
yang profesional dan menarik. Pemain bagus, masa depan cerah, dan liga
yang menarik untuk ditonton. Terus terang, saya sendiri sudah sangat
lama tidak mengikuti perkembangan sepakbola Indonesia, selain timnas
junior yang moncer itu.
Hal menarik kedua ini lebih menyenangkan : Akhirnya Manchester United memecat Mourinho!!!!!
(source : here)
Sebagai salah satu pengikut Nabi Pep Guardiola,
saya tidak suka dengan cara Mourinho menanamkan filosofi permainan pada
timnya, meskipun tetap menaruh respek. Tidak suka karena sudah terbukti
Mourinho hanya spesial ketika menangani tim semenjana yang memainkan
sepakbola dengan pertahanan super solid dan minim inisiatif menyerang.
Saya menyebutnya sebagai sepakbola reaktif, yang menunggu lawan
menyerang, diredam dengan pertahanan tebal, lalu secepatnya menyerang
balik, dan kemudian bertahan kembali. Namun tetap respek, karena bisa
mengatur pertahanan se rapi itu pun tidaklah mudah, perlu ditanamkan
karakter tertentu pada para pemainnya. Dan pertahanan super itulah yang
membuat pola menyerang ala Pep bisa mendapatkan tantangan yang
sebanding, untuk kemudian berkembang lagi karena selalu mencari cara
untuk menembus tembok itu. Maka terwujudlah tim Barcelona yang
legendaris itu.
Ya,
saya tidak suka Mourinho karena saya rasa karakter permainannya hanya
cocok ketika diterapkan di tim semenjana. Porto adalah kuda hitam di
Eropa. Chelsea kala itu juga belum menjadi tim papan atas karena selalu
di bawah bayang-bayang kehebatan Manchester United dan Arsenal. Inter
dibawa meraih treble winner karena saat itu Liga Italia bukan lagi liga
papan atas Eropa, dan berhasil memenangkan Liga Champion dengan bermain
bertahan. Lagi-lagi saya katakan bahwa itu bukanlah hal buruk, tapi
bukan permainan yang saya sukai untuk ditonton. Ketika Mou kembali ke
Chelsea, dia tak bisa sukses lagi, karena Chelsea sudah jadi tim papan
atas Liga Inggris, yang pride nya cukup terganggu ketika harus bermain
bertahan.
Begitupun ketika melatih
Real Madrid. Memang Real Madrid sukses menghilangkan inferioritasnya
atas Barcelona, namun selain itu tidaklah ada yang istimewa. Friksinya
dengan Casillas yang mempengaruhi keharmonisan timnas Spanyol menjadi
salah satu bukti bahwa yang paling utama untuk Mourinho adalah kejayaan
pribadi, entah bagaimanapun caranya. Bagi saya, kiprah Mou di Real
Madrid adalah kegagalan.
Karena itu ada aneka perasaan campur aduk ketika dulu MU mengontrak Mou sebagai manager, sebagaimana pernah saya tulis disini.
Tim cinta pertama saya dilatih oleh manager yang paling tidak saya
sukai. Padahal Liverpool mengontrak Klopp, dan City mengontrak Pep. MU
tampak suram sekali. Hingga hampir dua tahun kemudian, belum ada
tanda-tanda munculnya optimisme pada permainan MU, padahal Chelsea,
Arsenal, Spurs, dan Liverpool menunjukkan perbaikan performa signifikan.
Maka sebegitu bahagianya saya ketika Mou dipecat.
Memang
nggak akan bisa menjadikan MU ada di jalur juara Liga Inggris tahun
ini, tapi minimal ada peluang untuk memiliki harapan baru yang sudah
mentok di era Mou. Apalagi ketika yang diangkat jadi caretaker adalah si
babyfaced assassin, Ole Gunnar Solksjaer. Meskipun bukan pemain
inti, Solkajer adalah legenda. Striker cadangan yang sangat produktif,
tidak tertinggal jauh dari duo Andy Cole dan Dwight Yorke. Tidak ada
fans MU yang tidak ingat golnya (dan gol Teddy Sheringham) di final Liga
Champion melawan Bayern Muenchen.
(source : here)
Solksjaer
memang belum punya pengalaman melatih tim besar, namun kiprahnya ketika
melatih di tim masa kecilnya, Molde, cukup menarik perhatian. Di bawah
kepemimpinannya, Molde meraih juara Liga Norwegia untuk pertama kalinya.
Dan salah satu hal yang sangat menarik buat saya, dalam menjalankan
kepelatihannya, kadang dia menggunakan game simulasi sepakbola paling terkenal, Football Manager,
untuk mengantisipasi cara-cara mengalahkan lawannya. Sebuah kabar baik
untuk orang-orang sok tau yang merasa paling hebat karena bertahun-tahun
sukses menjadi manager sepakbola virtual di game itu, seperti saya.
Solksjaer
ada di MU ketika MU menjadi salah satu tim terhebat di Eropa dengan
gaya permainan menyerang yang sangat menghibur. 91 golnya di Manchester
United meskipun memulai dari bangku cadangan bukanlah catatan yang
buruk. Bagi saya itu cukup menggambarkan kemampuannya membaca arah
permainan, dan kemudian memanfaatkan celah-celah yang tersedia meski
tidak dibekali kemampuan fisik dan teknis yang superior dibanding
pemain-pemain lain. Semangat pemenang dan kemampuannya membaca
pertandingan, ditambah dengan susahnya strateginya diantisipasi lawan
karena relatif kurang dikenal, akan membuat MU menjadi agak susah untuk
diprediksi.
Selalu
menang di lima laga awalnya, memunculkan kembali kebahagiaan ketika
menonton permainan MU. MU tampil menyerang, maka mendorong para
pemainnya untuk menjadi kreatif dan memanfaatkan sebaik-baiknya segala
potensi yang dimiliki. MU diisi banyak pemain muda yang memiliki potential ability
diatas rata-rata, akan sangat sayang apabila ditanami filosofi
sepakbola bertahan. Saya yang sudah lama absen menonton pertandingan MU
live di tivi, mulai memiliki keinginan untuk sesering mungkin mengintip
cara Solksjaer memimpin adik-adiknya itu. Membayangkan Pogba yang
trengginas ditemani Juan Mata yang cerdik, Herrera yang cerdas, atau
Matic yang solid, menjadi inisiator serangan yang di eksekusi oleh para
young guns yang fit dan bertenaga seperti Rashford, Martial, Lukaku,
Lingard atau Alexis Sanchez. Potensinya sangat besar, berharap bisa
melihat pola serangan yang mengalir, kreatif, dan enerjik.
Pun begitu di lini pertahanan. David De Gea sudah bertahun-tahun menjadi tulang punggung pertahanan MU. Luke Shaw pernah jadi wonderkid, ini adalah waktunya untuk menjadi world class fullback setelah sekian lama dibekap cidera. Valencia dan Ashley Young memang bukan fullback murni,
tapi pengalamannya menjadi pemain sayap yang suka ngebut bisa jadi
bekal dalam menjadi playmaker dari sayap terluar. Juga masih ada Darmian
dan Dalot yang juga pemuda berbakat. Duet starter bek tengah mungkin
masih akan dihuni Lindelof dan Phil Jones, dan dibantu oleh Bailly dan
Smalling.
Tidak berlebihan jika saya berharap para pemain ini bisa direvitalisasi oleh si pembunuh berwajah bayi ini.
Sungguh di tahun baru ini menjadi semangat yang juga baru karena melihat MU yang baru. Mari kita tunggu.
Glory, Glory, Manchester United !!!
-maheinberg, 2020-