27 Desember 2013

Liga Inggris Yang "Berbeda"

Sebelum musim ini dimulai, melalui twitter saya menyampaikan kerinduan saya pada kebesaran Arsenal dan Liverpool, tanpa lupa menyertakan doa untuk kembalinya kejayaan mereka. Hingga boxing day ini, yang terjadi ternyata melebihi ekspektasi saya. Arsenal dan Liverpool justru menjadi kandidat terdepan penguasa liga lokal (so called) terbaik eropa ini. Lesson learned : jangan meremehkan kekuatan doa.


EPL season 2013/2014 memang berbeda. Pertama, Arsenal melakukan pembelian mahal. Sebut saja namanya Özil. O-nya pake titik dua di atas. Katanya itu berarti pengucapannya dengan suara O yang seperti ditelan. Özil (dengan titik dua diatas) ini jadi semacam pembuka cakra di aliran tenaga dalam Arsenal yang selama ini terpendam. Di awal-awal, Arsenal yang dari musim ke musim selalu bermain cantik nan menghibur tapi tidak selalu menang ini sempat memimpin hingga lima poin dari posisi dibawahnya. Dan bintang terang yang mencetak banyak gol adalah : Ramsey.

Kedua, Liverpool jadi kuat lagi. Sebagai kolektor gelar Juara Liga Inggris terbanyak kedua (yang pertama adalah MU. Mungkin sudah pada tau sih, kalimat dalam kurung ini hanya memperjelas saja), Liverpool sungguh tidak layak untuk menjadi tim yang beberapa tahun terakhir seperti tim medioker yang bahkan seringkali susah payah memastikan berada di kompetisi Eropa di musim mendatang. Upaya Rodgers untuk menata sistem permainan Liverpool mulai terasa hasilnya. Suarez semakin ganas. Dan so far jadi top scorer. 19 gol dari 18 pertandingan Liverpool.

Ini adalah saat yang tepat bagi para gooners dan liverpudlian untuk sejenak meluangkan waktu membalas cibiran yang selama ini muncul dalam rangka menyindir minimnya piala yang mampir ke lemari mereka. But above all, yang hingga saat ini masih menjadi Gooners dan Liverpudlian adalah mereka yang telah teruji. Yang masih berdiri di tengah kapal yang limbung. Respek yang tinggi untuk hal ini. Hat off.

Ketiga, Manchester City lolos ke babak knockout Liga Champion. Dua musim terakhir, City selalu gagal lolos babak grup Liga Champion, padahal berpredikat tim papan atas di liga papan atas. Sebelumnya malah lebih sering tidak ikut partisipasi. Dan sekali-kalinya lolos, langsung bertemu Barcelona. Ya, City tahun ini memang punya skuad penyerang yang luar biasa, terbukti dengan 53 gol yang sudah dicetak di Liga Inggris, hanya dari 18 partai. 10 gol lebih banyak dari Liverpool, pencetak gol terbanyak kedua. Tapi untuk melawan Barcelona, sepertinya belum. Tapi cukup seru, mengingat barisan bek Barcelona juga sedang dalam fase diragukan. Tapi, City kurang punya karakter kuat di eropa. Tapi... Ah, kebanyakan tapi...

Keempat, tidak ada lagi Sir Alex Ferguson di EPL.

Kelima, Manchester United tidak ada di empat besar klasemen. Saya rasa ini berhubungan dengan alasan keempat. Setelah berpuluh-puluh tahun dipimpin seorang gaek yang pemarah dan berwajah semu-semu merah, kini MU dipimpin oleh manajer yang musim-musim sebelumnya selalu menyulitkan MU, tapi belum pernah benar-benar meraih prestasi yang nyata. Sebut saja namanya David Moyes. MU sempat terlihat limbung dan bermain dengan mental medioker. Sangat berbeda dengan mentalitas era Fergie yang sangat papan atas, meskipun pemainnya yang medioker. Di twitter saya yang lalu, saya lupa menyisipkan doa untuk kelanggengan kejayaan MU. Tapi tak apa. Ini transisi. Iya, transisi. Betul, transisi. Transisi kan? Transisi bukan sih? Iya deh, transisi.

Keenam, coba diluangkan waktunya sebentar untuk melihat klasemen Liga Inggris saat ini. Jika permintaan saya ini dianggap terlalu berat, ya sudah, saya capture kan klasemen per tanggal 27 Desember 2013 dari soccerway.com.

Ini adalah gambaran ketatnya persaingan Liga Inggris musim ini. Mungkin lebih ketat daripada tanktop Jupe. Empat besar klasemen hanya berselisih nilai satu saja. Sebelum dikalahkan City, Liverpool ada di peringkat dua. Meleng sedikit, bisa jatuh keluar zona Eropa, karena di posisi lima ada Everton yang poinnya berbeda dua saja. Itu kalo hanya meleng. Kalo sempat ketiduran, sudah ada Newcastle, Tottenham, dan (sigh!) MU yang punya potensi untuk kembali menyodok ke atas. Posisi ini mengingatkan saya pada Serie A sekitar tahun 98-an, ketika saya baru saja kenal sepakbola Eropa. Waktu itu ada magnificent seven yang melibatkan Juventus, Inter Milan, AC Milan, Lazio, AS Roma, Fiorentina, dan Parma, bersaing sangat ketat dan seru. Tahun ini, Liga Inggris berpeluang untuk mengalahkan Serie A waktu itu dalam hal ketatnya persaingan. Sebagai Football Fanatic, tentunya saya sangat berharap persaingan ini berlangsung hingga akhir, dan sebagai fans MU, saya berdoa semoga akhirnya Manchester United menyalip di tikungan dan menjadi juara. Kenapa tertawa? Biarin aja, namanya juga doa.

Ketujuh, Mourinho tidak lagi menjadi yang paling sering jadi bahan berita media. Kembali ke rumah yang paling nyaman untuknya, Mou justru bermodal ketidaksuksesan di Madrid, dan Chelsea baru saja mengalami fase gonta ganti manajer pasca peninggalan Mou. Tentu saja ini meninggalkan skuad yang sangat berbeda dibanding Chelsea era Mou dulu. Entah kenapa, sepulang dari Madrid, Mou tidak terlalu sering berkomentar lugas khas Mou. Mungkin karena Chelsea memang sedang perlu pengaturan dan penanganan yang lebih dari sekedar komentar. Ditambah tidak adanya Fergie, seolah tidak ada pertarungan verbal yang seru antar manajer. Chelsea yang tidak terlalu superior baik di pertahanan maupun menyerang, serta manajer lain yang ternyata juga menyita banyak perhatian membuat Mou seperti tidak sedang berada di Inggris.

Kedelapan, Liga Inggris hanya tayang seminggu dua kali di tivi gratis nasional. Sangat disayangkan ketika Liga jadi seru-serunya, nontonnya malah dikit. Padahal Big Match nya makin banyak. Langganan tivi berbayar dong!!! Iye dah, bayarin tapi ya. Streaming dong!!! Waduh, lebih sering ga stabil koneksinya. Ya udah, derita lo!!! Iya deh, derita gueh.

Sebagai penutup, selamat menikmati suguhan liga ketat nan menghibur. Harapan saya lainnya, semoga Inggris bisa punya timnas yang bermain keren dan punya identitas kuat seperti Spanyol, Jerman, Brazil, bahkan Italia. Semoga kekuatan modal yang berputar di sekitaran Liga Inggris tidak menjadi bumerang yang pelan-pelan menggerus soliditas pemain lokalnya.

Harapan yang lain lagi, semoga Liga Indonesia bisa jadi sehat, kompetitif dan konstruktif, dan Timnas Indonesia bisa jadi profesional dan membanggakan. Sudah ada harapan di level U-19. Yang di atasnya sudah waktunya didukung tanpa berharap banyak. Lain kali mari kita ngomong sepakbola Indonesia. Nunggu Liga yang baru tapi dengan rasa lama nanti.

Itu juga kalo ga males.