07 Februari 2012

Wasit Dalam Humanisme Bersepakbola

Kemarin saya membaca sebuah artikel di detiksport berjudul "Wasit dan Sikap Bersepakbola", yang cukup menggelitik saya untuk menuliskan sesuatu yang berhubungan dengan ini. Artikel ini intinya membahas pertandingan Chelsea melawan MU yang berakhir seri, 3-3, dengan adanya dua penalti untuk MU ketika mereka tertinggal 3-0. Keputusan wasit ini cukup mengecewakan bagi Chelsea dan pendukungnya, namun tidak ada reaksi berlebihan dari pemain, pelatih, dan ofisial. Kondisi berbeda mungkin akan terjadi apabila hal tersebut terjadi di Indonesia.

Ingatan saya tiba-tiba melayang pada partai Inggris melawan Jerman di Piala Dunia 2010. Dalam kedudukan 2-1, Lampard melakukan sebuah tendangan spektakuler dari luar kotak penalti yang mengenai tiang atas gawang Neuer, memantul ke tanah, kemudian keluar lagi. Wasit menyatakan tidak terjadi gol, namun rekaman tivi jelas-jelas memperlihatkan bahwa bola 100% telah melewati garis gawang Jerman. Apabila gol tersebut diakui, kedudukan akan berubah menjadi 2-2, dan Inggris berada pada kondisi mental yang bagus. Segala hal bisa terjadi. Namun pada akhirnya gol tersebut tetap tidak diakui, Inggris harus menyerah 4-1. Perdebatan dan ketidakpuasan atas keputusan itu memang tidak akan pernah berakhir, namun sudah dipastikan bahwa pertandingan telah berakhir, dan hasilnya telah tercatat dalam sejarah. Sedahsyat apapun debat dan adu argumen yang dilakukan tidak akan mengubah hasil itu.


(Goal Lampard melawan Jerman. Sumber : youtube)

Itu hanya salah satu dari begitu banyak kejadian-kejadian serupa dalam pertandingan sepakbola. Seringkali wasit mengambil keputusan yang tidak tepat, bahkan diakui oleh sang wasit itu sendiri. Bisa dibilang, tidak ada wasit yang tidak pernah melakukan kesalahan. Namun makin tinggi kualitas seorang wasit, makin kecil pula kesalahan yang dilakukan. Ketika seseorang telah sah menjadi wasit, maka dia telah melakukan serangkaian uji kompetensi oleh lembaga yang berwenang. Wasit berperan sebagai pengadil lapangan, seharusnya seluruh elemen di lapangan tunduk kepadanya. Di sisi lain, wasit sendiri juga punya "wasit" yang mengadili kinerja mereka. Apabila wasit melakukan kesalahan, maka ada lembaga lain di bawah asosiasi sepakbola yang akan mengevaluasi. Jika terlalu banyak kesalahan yang dibuat, bisa saja wasit tersebut dicabut lisensinya, sehingga tidak bisa lagi menjadi wasit. Jika wasit-nya wasit ternyata juga tidak kompeten, maka akan ada lagi lembaga lain yang lebih berhak menentukan langkah selanjutnya atas hal tersebut. Semua sudah tersusun sebagai suatu sistem yang menurut saya tidak perlu lagi ikut kita pikirkan sebagai penonton. Jika terjadi banyak kesalahan di lapangan, bisa saja terjadi sanksi yang masiv, seperti yang pernah terjadi di Italia dalam kasus pengaturan skor atau calciopolli.

Peran wasit dalam sepakbola sangat berbeda dengan wasit di olahraga lain. Wasit dalam tenis tidak bergerak dari tempatnya dan dibantu teknologi hawk eye. Wasit voli dan badminton juga tidak memperhatikan hal-hal sebanyak sepakbola. Yang paling mendekati mungkin wasit basket, namun tetap saja berbeda. Wasit basket bisa menghentikan pertandingan sejenak untuk melihat replay pertandingan jika ada. Wasit pada pertandingan sepakbola membuat sebuah pertandingan sepakbola menjadi lebih humanis. Ada penilaian seorang manusia dengan segala obyektifitas dan subyektifitasnya dalam menentukan sebuah pertandingan. Dan keputusan ini mutlak. Menggugat keputusan wasit ada jalurnya sendiri, bukan di lapangan. Bertanya dan protes boleh, tapi ada batasnya. Pengambilan keputusan yang salah masih lebih baik dibanding keraguan dalam mengambil keputusan. Keputusan yang salah adalah kejadian yang wajar. Akan menjadi kurang wajar apabila keputusan yang salah terjadi berulang-ulang. Bisa karena disengaja, karena wasit tidak cakap, atau karena hal lain. Namun sekali lagi, sudah ada yang berhak meng-handle hal tersebut.

Bagi kita sebagai penonton, menyalahkan wasit sepertinya tidak ada gunanya, selain memaksa kita untuk terus berada dalam kekecewaan dan pengandaian. Sekecewa apapun kita dan seakurat apapun alasan yang kita berikan, tidak akan pernah mengubah hasil pertandingan yang telah terjadi. Hasil telah tercatat, menang, seri, atau kalah. Jika memang hasilnya kurang memuaskan, toh ada pertandingan lain untuk diperhatikan. Jika tim favorit kita melalui satu-dua keputusan salah dari wasit, artinya tim itu tidak terlalu hebat untuk layak memenangkan pertandingan melalui aksi-aksi brilian lainnya. Selalu menyalahkan wasit artinya tidak ada lagi yang bisa dibanggakan kecuali kebenaran semu yang masih seandainya itu. Apalagi jika secara terus menerus menganggap wasit selalu melakukan kesalahan, maka ada yang aneh di sana. Apakah federasi sepakbola tidak melihat ini, atau sengaja melakukan pembiaran? Atau justru kesalahan kita sendiri dalam memahami salah-benar dalam sepakbola?

Ada berapa banyak komentator yang menggoblok-goblokkan wasit yang meniup peluit tanda offside ketika Carlos Vela mencetak gol ke gawang Afrika Selatan di Piala Dunia 2010? Saat itu Vela ada di belakang kiper Afsel ketika menerima bola dan kemudian mencetak gol, sementara di gawang ada satu bek lagi. Banyak yang menganggap Vela tidak offside, karena posisinya di belakang kiper. Padahal dinyatakan offside jika "Nearer to the opponents' goal line means that any part of the head, body, or feet is nearer to the opponents' goal line than both the ball and the second last opponent" (dari FIFA Laws of The Game), yang artinya kurang lebih adalah berada lebih dekat kepada garis gawang daripada bola dan pemain terakhir kedua. Pemain terakhir biasanya memang kiper, tapi dalam kasus Vela ini, pemain terakhir adalah bek yang di mulut gawang. Kiper menjadi pemain terakhir kedua. Maka keputusan wasit menyatakan offside adalah benar. Para komentator yang menggoblok-goblokkan wasit tadilah sebenarnya yang kurang pintar.

(Gol Carlos Vela yang dianulir. Sumber : youtube)

Tim yang hebat layak menang melalui sebuah permainan, meskipun harus dengan menghadapi keputusan wasit yang meragukan. Hal-hal merugikan seperti diving pemain lawan akan bisa terjadi jika ada hal-hal yang memicu dilakukannya diving, seperti teknik tackle yang salah, atau terlambat. Dengan teknik tertentu yang benar, maka kemungkinan diving lawan bisa diminimalisir. Kejadian seperti keputusan Howard Webb dalam memberikan penalti kedua kepada Manchester United melawan Chelsea hari minggu lalu, misalnya. Dari sisi Webb, kontak terlihat terjadi, namun jika dilihat di replay televisi, Welbeck terlihat menyangkutkan kakinya pada kaki Ivanovic yang memang ada di depannya. Webb mungkin saja mengakui kesalahannya ketika melihat replay seusai pertandingan, namun di lapangan Webb melihat hal lain. Keputusan sudah dibuat, thats it. Kalaupun itu salah, bukan sebuah kesalahan fatal. Bahkan bisa saja dianggap benar. Kita mungkin punya pendapat, tapi ada wasit disana. Dia pasti lebih capable. Jika dianggap tidak layak, ada wasit-nya wasit seperti yang saya bahas sebelumnya. Tapi jika ada yang protes terhadap penalti pertama, terasa hanya berbau keputusasaan dan kekecewaan.

Begitu banyak suporter sepakbola yang menjadikan kesalahan wasit sebagai biang kekalahan tim idolanya. Ditambah dengan bumbu sendainya begini, seandainya begitu, bahkan seringkali dijadikan bahan debat dengan penuh kengeyelan. Kekalahan menjadi hal yang sulit diterima dan diakui, harus ada yang disalahkan, dan wasit adalah sasaran empuknya. Menyalahkan wasit hanya akan menjadi pemborosan energi tanpa ada hasilnya. Yang ada hanya berandai-andai, dan hidup dalam perandai-andaian tidak lah terasa menyenangkan. Kesalahan wasit yang wajar akan menambahkan nilai-nilai emosional yang tidak bisa diberikan oleh teknologi yang selalu akurat. Sisi humanisme itulah yang menjadi salah satu kelebihan sebuah tontonan sepakbola. Wasit adalah salah satu bagian penting dalam sepakbola itu, dengan segala kejelian dan keteledorannya.

1 komentar:

  1. mas kalau bisa tampilkan wasit dan pemain yang protes berlbihan di indonesia biar ada perbandingan hehehe...

    BalasHapus