27 Mei 2018

Bukan Saat Yang Tepat Untuk Berbahagia (Fans Barcelona Lagi Ngomel)

Ini adalah masa-masa sulit sebagai Fans Barcelona. Bahkan domestic double pun tidak mampu mengurangi kemuramannya.
( gambar dari : sini )

Yang harus disalahkan pertama adalah Pep Guardiola. Dia bersalah karena sempat meletakkan standar yang begitu tinggi dan ideal yang nyaris tercapai. Guardiola lah yang bertanggung jawab pada permainan kolektif yang sangat menghibur, dan membawa Barcelona menjadi tim yang dominan, merajai dunia, serta menjadi standar bagaimana sepakbola itu harus dimainkan. Dalam prosesnya, Guardiola membangun pondasi permainan tim dari pemain-pemain yang berasal dari akademi sendiri, sekaligus mempersiapkan beberapa pemain lain dari La Masia untuk diharapkan menjadi pemain kunci di masa yang akan datang. Permainan menghibur, bintang-bintang besar, diisi pemain akademi sendiri, dominan, dan prestasi yang terus mengalir yang juga berarti banyak penghasilan untuk klub, sebuah kombinasi yang mengundang banyak orang untuk mencintai, yang datang dengan ekspektasi sangat tinggi, tanpa sadar bahwa kondisi seperti itu belum tentu datang 10 tahun sekali. Standar tinggi itu selalu terpatri di benak mayoritas fans Barcelona, sehingga sulit menjadi bahagia dan dibahagiakan. Bayangkan, Luis Enrique berhasil membawa Barcelona mendapatkan treble, tapi banyak yang memintanya untuk dipecat. Valverde sukses mendapat gelar La Liga dan Copa Del Rey, tapi hashtag #ValverdeOut juga merebak bahkan sejak tengah musim, padahal sepanjang musim hanya sekali kalah di Liga.

Yang bersalah kedua adalah Real Madrid. Ya tentu saja dari kacamata fans Real Madrid ini bukanlah kesalahan. Terbayang betapa ringannya jadi fans Real Madrid. Sepuluh tahun hanya dapat satu gelar Liga adalah hal yang biasa saja, toh semua tertutupi dengan empat gelar Liga Champion dalam 5 tahun terakhir. Barcelona dapat tujuh, lho. TUJUH. Tujuh banding satu ya lumayan lah ya. Bandingkan dengan Liga Champion, dalam 10 tahun terakhir Barcelona bisa mengumpulkan tiga, dibandingkan dengan empat milik Madrid. Tidak terlalu jauh memang, tapi Madrid melakukan itu dengan dahsyat, karena tiga diantaranya berturut-turut, ditengah mitos sebelumnya bahwa sekedar mempertahankan juara saja sangat sulit. Bahkan (arguably) The Best Barcelona in history saja empot-empotan dalam mengejar itu tanpa pernah meraihnya. Dalam rentang 10 tahun itu pula, Barcelona meraih dua treble, yang salah satunya sapu bersih seluruh kompetisi lainnya. Itupun bukan hal yang istimewa-istimewa amat di mata fans Barcelona, selama mereka tidak bermain dengan indah, dalam standar masing-masing tentunya. Perbedaan standar kebahagiaan ini membuat hidup fans Barcelona sebenarnya dipersulit sendiri. Ya, saya juga.

Ketiga, faktor Zinedine Zidane. Awalnya banyak yang menganggap bahwa Zidane akan menjadi Guardiola-nya Madrid. Legenda di timnya, pernah menanangani tim junior, lalu membawa tim senior menuju kejayaan. Bedanya kemudian, Zidane lebih terlihat menonjol dalam man management yang mampu membuat para pemainnya percaya dan mengeluarkan kemampuan optimalnya, namun tidak mencatatkan identitas pada pola permainannya. Mungkin bagi sebagian orang itu adalah kelemahan, tapi lama-lama bisa jadi itulah kelebihannya. Semua lawan Real Madrid selalu menduga apa yang akan dilakukan Zidane, bisa baik dan juga bisa buruk. Bahkan di kalangan fanbase, termasuk fanbase Real Madrid sendiri, Zidane tidaklah dikenal sebagai tactical genius. Tadinya sayapun meremehkan kemampuan Zidane, dan menganggap kejayaan Real Madrid di Liga Champion banyak didukung faktor kebetulan. Tapi kalo bisa konsisten meraih juara hingga empat kali dalam lima tahun, keyakinan terhadap kebetulan tersebut harus dipertanyakan. Mungkin Zidane sengaja menjebak pikiran semua orang bahwa dia agak abal-abal, tapi kemudian menghajar siapapun yang meremehkan dia.

Keempat, Cristiano Ronaldo. Untuk sebagian fans Barcelona, perbandingan Messi vs Ronaldo tidak pernah ada, karena sekedar dibandingkan aja udah nggak pantes. Messi sejak awal sudah tak tertandingi tak sekedar karena kemampuannya mencetak gol, tapi juga memahami permainan, kemampuan memberikan assist, kebisaan playmaking khas La Masia, dan membawa timnya menjadi dominan siapapun yang ada di sekitarnya, bahkan dengan mengisi posisi yang berbeda-beda. Ibaratnya, ketika ada yang menganggap bahwa Ronaldo bisa disejajarkan dengan Messi, maka orang itu sudah dianggap beda "agama" dan pemahaman dalam sepakbola, sehingga debat tidak perlu dilanjutkan karena hanya akan meributkan "keyakinan", dan nggak bakal ada ujungnya. Sayangnya, Ronaldo pernah berprestasi besar dengan negaranya dengan meraih Piala Eropa, meskipun di final dia hanya berjuang dari pinggir lapangan. Sementara Messi yang membawa timnya yang semenjana menuju final turnamen penting tiga kali berturut-turut tetap dianggap fraud karena selalu gagal menjadi juara. Ronaldo juga berhasil menyamai raihan Ballon D'Or Messi, sehingga tema ini tidak lagi bisa jadi bahan untuk disombongkan. Di saat yang sama, ketika Messi sudah melewati Ronaldo dalam meraih sepatu emas sebagai pencetak gol terbanyak eropa, hal itu menjadi hal biasa saja, padahal seharusnya ini juga membuktikan bahwa "Ronaldo is the better scorer" tidak lagi valid. Lagi-lagi semua agak tertutup kenyataan ketika Ronaldo sudah memegang lima piala Liga Champion, sementara Messi baru tiga. Nah, ketimpangan antara keyakinan dan tulisan raihan itu cukup mengganggu tidur malam hari.

Kelima, barisan pengurus Barcelona. Well, yang ini lebih serius sekaligus mengawang-awang, karena sumber informasinya hanya dari berita. Dulu, jaman Real Madrid mengumpulkan para superstar sehingga akhirnya dijuluki Los Galacticos, Florentino Perez dianggap hanya mementingkan marketing tim tanpa benar-benar mengejar prestasi. Buktinya, pemain yang dibeli adalah para pemain bintang, tapi prestasi biasa saja, tidak istimewa. Tapi sekarang berbeda, ketika filosofi Los Galacticos tidak lagi dianut, Real Madrid justru banyak percaya pada pemain muda yang sebagian berasal dari akademi sendiri, dan banyak merawat pemain asli Spanyol, dengan otak permainan tetap bertumpu pada pemain tengah yang mampu mendikte permainan dan sangat hebat dalam mempertahankan bola. Sebuah filosofi yang "sangat Barcelona". Lalu lihatlah Barcelona sekarang. Semua dimulai dengan dijualnya Thiago ke Bayern Muenchen. Bukan benar-benar dijual sih, tapi klausul kontrak menyatakan bahwa release clause Thiago cukup rendah, namun akan menjadi tinggi jika memenuhi jumlah jam main tertentu. Kemudian Thiago jarang dimainkan, dan dia bebas memilih bermain di manapun, karena jelas tawaran yang datang tidak sedikit. Kemudian bertahun-tahun kemudian disusul dengan lepasnya Dani Alves yang ketika keluar menyatakan kekecewaannya pada pengurus. Lalu Xavi, lalu Iniesta, tanpa benar-benar direncanakan siapa yang akan meneruskan tugas mereka yang tadinya menjadi nyawa permainan indah Barcelona. Entah apa yang akan terjadi di Barcelona kelak ketika Messi tak lagi disana. Lalu Sandro Rosell dipenjara sehubungan dengan proses transaksi Neymar, posisinya sebagai Presiden diganti Bartomeu. Di 2015, mengingat prestasi Barcelona yang masih mentereng, Bartomeu kembali terpilih menjadi Presiden mengalakan Joan Laporta, sebuah hasil yang diprediksi banyak pihak akan membawa Barcelona menuju kemunduran dalam beberapa tahun ke depan. Awal musim 17/18 sesungguhnya sudah bisa menjadi tolak ukur dimana Barcelona hanya memperkuat lini tengahnya dengan pemain yang pernah gagal di Inggris, dan kemudian menjalani karir di Liga Cina, tanpa menghadirkan pemain tengah yang mampu menjadi pengatur permainan ala Xavi atau Modric. Padahal telah muncul beberapa nama, salah satunya Jean Michael Seri yang pada akhirnya juga gagal didaratkan di Camp Nou. Sementara Real Madrid yang tahun sebelumnya menjadi double winner justru dianggap memiliki skuad yang sangat lengkap dan seimbang. Superstar yang siap jadi starter, dan sekumpulan anak muda potensial yang tidak keberatan dicadangkan, tapi siap meledak ketika diperlukan. Real Madrid diprediksi akan dominan, sementara Barcelona adalah underdog. Sebuah posisi yang terbalik dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tapi ya sudahlah, inilah kenikmatan menggemari sepakbola. Apalagi dengan rivalitas sengit seperti ini, drama yang dihasilkan cukup mengaduk-aduk perasaan, itu yang paling penting. At least Barcelona kembali punya tujuan besar untuk dikejar. Kalo lagi maen Football Manager, masih ada sembilan musim lagi untuk semangat menyalip raihan Liga Champion. Kembali dominan seperti era Guardiola tampaknya terlalu berlebihan dan hanya menjadi semacam ilusi, yang penting menjaga agar tetap kompetitif dan semoga dipersiapkan dari sekarang jika kelak Messi pensiun. Liga domestik adalah uji konsistensi, Liga Champion adalah uji eksplosifitas. Terbukti Real Madrid belum konsisten untuk menjadi eksplosif di tangan Zidane meskipun dikawal pemain-pemain dengan nama besar, hal ini bisa dilihat dari hebatnya Real Madrid di Liga Champion, tapi sering kalah atau seri di La Liga melawan tim-tim kecil. Namun Barcelona juga gagal untuk menjadi eksplosif di sejumlah kecil pertandingan, tapi di masa yang sangat krusial, seperti ketika melawan AS Roma di Olimpico. Musim depan akan menjadi tes yang baru lagi, dengan kemungkinan drama yang baru pula. Saingan utama Barcelona masih Real Madrid, baik di Spanyol maupun Eropa. Mungkin akan ada Bayern Muenchen, Manchester City, Juventus, atau PSG, tapi masih sedikit tertinggal di belakang duo tim Spanyol ini. 

Momen-momen seperti inilah makin membuat saya jatuh cinta pada sepakbola.

Enjoy the moment, salam olahraga.

1 komentar:

  1. Anda dapat membaca sepak bola terbaik, prediksi berita di situs saya
    Prediksi Bola
    Terima Kasih

    BalasHapus