08 September 2011

Sudahkah Optimisme Muncul Dari PSSI Baru?

Beberapa saat lalu, ketika rezim kekuasaan PSSI era Nurdin Halid berhasil "digulingkan", muncul euforia luar biasa bagi penikmat sepakbola Indonesia. Rezim lama yang diduga dipenuhi mafia tersebut tidak menghasilkan prestasi berarti selama masa kepemimpinannya, bahkan diduga penuh korupsi. Ditambah lagi dengan kengototan sang pemimpin dalam mempertahankan posisinya, meskipun media menunjukkan bahwa dia ditentang mayoritas Rakyat Indonesia, membuat para pengamat makin curiga ada sesuatu sistematis yang ditutupi. Buruknya kualitas Liga di Indonesia, jeleknya mental pemain sepakbola, kurangnya jenjang pembinaan yang kontinyu, dugaan pengaturan skor, dugaan mafia wasit, makin menurunnya kualitas Timnas Indonesia yang bahkan tidak lagi jadi tim unggulan di Asia Tenggara semua dilimpahkan kesalahannya kepada para pengurus PSSI. Sehingga, ketika rezim tersebut resmi digantikan oleh orang-orang baru, semua orang bahagia.

Mari kita tidak membicarakan rezim PSSI era Nurdin Halid, karena sudah terlalu banyak dibicarakan. Mari kita membahas euforia era baru ini. Menurut saya ini menarik, karena harapan Rakyat Indonesia sangat besar dibebankan di pengurus PSSI yang baru. Yang ada di benak kita semua adalah munculnya perbaikan revolusioner di segala sisi elemen sepakbola Indonesia, seperti jenjang pembinaan pemain yang jelas dan kontinyu, pelaksanaan sebuah Liga yang Profesional, tanpa mafia wasit, pengaturan skor, dan rekayasa-reayasa lainnya, yang berujung pada prestasi Timnas Indonesia supaya bisa berbicara banyak di pentas Internasional. Mampukah PSSI baru mewujudkan hal tersebut?

Memang terlalu dini untuk memberikan penilaian, tapi dari kacamata penulis banyak hal yang bisa diamati dari pengambilan keputusan-keputusan awal pengurus PSSI tersebut. Sayangnya, kebanyakan adalah hal-hal yang menjauhkan penulis dari optimisme kemajuan persepakbolaan Indonesia. Keputusan pertama tentu saja mengenai pendepakan sepihak pelatih Timnas saat itu, Alfred Riedl. PSSI beralasan bahwa pengangkatan Riedl tidak berdasarkan kontrak dengan PSSI melainkan kontrak secara personal dengan salah satu pengurus di masa itu. Terlepas benar tidaknya alasan tersebut, artinya PSSI tidak menentukan pelatih berdasarkan kinerja, karena penampilan timnas di bawah asuhan Riedl cukup menjanjikan, meskipun masih tanpa prestasi. Penilaian PSSI berdasarkan "Faktor X" yang tidak disampaikan kepada publik. Dari sini bisa muncul optimisme bahwa semangat yang diusung PSSI baru adalah melihat bahwa prospek timnas akan menjadi lebih baik di bawah pelatih baru yang kemudian ditunjuk, yaitu Wim Rijsbergen.
Seperti yang kita lihat, di bawah asuhan Riedl permainan timnas menjadi berbeda. Meskipun bukan tergolong sempurna, permainan timnas menjadi jauh lebih terorganisir. Passing-passing pemain menemui sasaran, penjagaan bola cukup bagus, pergerakan terlihat teratur, tidak lagi memaksakan long-pass, bertahan dengan cukup baik, dan mampu menumbuhkan harapan untuk berkembang. Optimisme sudah muncul disini. Muncul pula selebritis baru yang menarik perhatian publik, baik karena permainan di lapangan, maupun faktor lain. Irfan Bachdim seketika populer karena positioning dan off-the-ball nya yang sangat bukan Indonesia meskipun akhirnya lebih populer karena faktor fisik, Christian Gonzales yang akhirnya berkewarganegaraan Indonesia, dan mencetak banyak gol, dan menyebabkan keluarganya ikut terkenal, Okto Maniani yang sering ngebut di sayap kiri, Arif Suyono yang supersub, dan Ahmad Bustomi sebagai elemen terpenting timnas yang paling underrated dan underestimated.
Lebih baikkah permainan timnas di era Rijsbergen? Hingga saat ini jawabannya TIDAK.
Ketika memutuskan untuk melakukan pergantian pelatih, pastilah PSSI mempertimbangkan segala faktor, termasuk pertandingan apa saja yang akan dihadapi, dan seberapa banyak waktu yang dimiliki untuk melakukan persiapan. Ketika keputusan dibuat, pastilah kita yakin bahwa itu untuk hal yang lebih baik. Paling tidak itulah yang kita percaya sebagai wujud optimisme. Kenyataannya, pada partai awal timnas di tangan Rijsbergen, Indonesia mampu mengalahkan Turkmenistan dengan permainan sangat meyakinkan. Optimisme melambung semakin tinggi. Namun setelah itu, pada berbagai partai persahabatan, timnas senior Indonesia ini bermain sangat buruk. Tak ada lagi organisasi rapi seperti permainan melawan Turkmenistan. Bahkan yang muncul adalah keinginan para pemain Indonesia untuk segera mengirimkan bola ke kotak penalti lawan tanpa peduli siapa yang akan menyambut umpan tersebut. Yang penting long-pass, selanjutnya serahkan pada keberuntungan. Kembali seperti jaman dulu ketika Indonesia sering kalah. Mulai muncul dugaan bahwa permainan melawan Turkmenistan adalah sisa-sisa hasil didikan Riedl, atau arahan Rahmad Darmawan, sang asisten pelatih.
Dalam dua kali partai awal Pra-Piala Dunia, tampak permainan Indonesia yang semrawut. Terlepas dari lawannya adalah Iran dan Bahrain yang memang secara peringkat jauh di atas Indonesia, permainan Indonesia sendiri tidak jelas. Bukan hanya stamina yang buruk, tapi organisasi permainan secara mendasar sering salah. Dari sini optimisme kembali memudar. Harapan masih ada dalam 4 pertandingan sisa, meskipun jika ditilik dari jalannya 2 pertandingan awal, harapan itu cukup tipis.
Kesimpulan pertama, dalam keputusan penggantian pelatih ini, PSSI baru belum mampu menghadirkan optimisme tambahan untuk penulis, bahkan malah mengendurkannya.

Yang kedua adalah mengenai perpindahan pemegang hak siar televisi atas pertandingan Timnas Indonesia, dari yang semula dimiliki oleh tivi kepala burung ke tivi untuk semua. Berita yang beredar di media, perpindahan tersebut tidak terjadi dengan mekanisme yang seharusnya, dimana semestinya ada bidding terlebih dahulu, tetapi PSSI malah melakukan tunjuk langsung. Hal ini sebenarnya tidak terlalu menarik untuk penonton sepakbola, karena tidak ada pengaruhnya selama penonton masih bisa menikmatinya di tivi secara live dan gratis, tapi ada sedikit ganjalan mengenai pelaksanaan proses yang janggal tersebut. Ganjalan tersebut menjadi semakin bertambah besar ketika pertandingan tersebut benar-benar telah disiarkan. Sebagian besar penonton, termasuk penulis, kecewa dengan tivi untuk semua tersebut yang terkesan amatir dan belum terbiasa menyiarkan pertandingan sepakbola secara live. Komentator tidak up to date, proses replay yang tersendat-sendat, rundown acara yang kurang bagus, hingga peletakan kamera yang seringkali tertutup penonton. Hal tersebut mau tidak mau menggelitik penonton setia televisi untuk berteriak "Kembalikan Live ke Tivi Kepala Burung"!!!

Yang ketiga adalah mengenai pelaksanaan Liga Baru, dimulai dari nama. Konon, nama yang akan digunakan adalah "Liga Prima Indonesia". Hal ini mengingatkan kita pada "Liga Tandingan" yang ternyata hanya berlangsung separuh musim, tanpa kelanjutan, tanpa pemenang, yang mayoritas pengelolanya memiliki hubungan baik langsung maupun tak langsung dengan pengurus PSSI sekarang. Lalu mengenai format kompetisi, dimana PSSI memutuskan menyelenggarakan Liga dalam format dua wilayah, seperti jaman dulu. Format ini terasa seperti kemunduran, dimana Indonesia dengan susah payah telah berusaha membuat sebuah liga yang lebih baik dalam format satu wilayah harus dikembalikan lagi ke format seperti dulu, padahal format satu wilayah tersebut telah berjalan dengan baik. Entah apa alasannya, namun keputusan ini lagi-lagi membuat penulis mengrenyitkan dahi. Optimisme belum muncul disini, tapi mari kita bersama melihat ke depan atas perubahan ini.

Ketiga faktor tersebut mampu menghadirkan pesimisme, bahkan menandingi optimisme dan euforia atas jatuhnya rezim lama. Namun diatas itu semua, mari kita dukung dan berdoa selalu untuk kemajuan sepakbola Indonesia. Kita tidak boleh kehilangan optimisme sama sekali, karena entah saat ini atau suatu saat nanti, persepakbolaan Indonesia pasti akan maju. Lebih baik kita wait and see atas keputusan-keputusan PSSI baru, meskipun tampak meragukan. Jika ternyata terbukti sama saja dengan rezim lama (atau bahkan lebih buruk), mari kita kritisi bersama dengan semangat mencari solusi atas nama rasa sayang dan support kepada Timnas dan Sepakbola Indonesia. Siapapun pelatihnya, siapapun pengurus PSSI-nya, Garuda Tetap Di Dadaku. HIDUP INDONESIA!!!

0 komentar:

Posting Komentar