07 September 2011

How I Love Football

Pertama kali tertarik pada sepakbola adalah ketika nonton piala dunia taun 98, pas prancis jadi juara. Waktu itu di piala dunia ada beberapa figur yang sangat karismatis, seperti Ronaldo, Roberto Carlos, Zinedine Zidane, Del Piero & Filippo Inzhagi, David Beckham, Diego Simeone, dan Juan Sebastian Veron. Sebagai orang yang sebelumnya tidak tahu menahu tentang sepakbola, orang-orang itu sangat memikat saya. Ya, mereka memang laki-laki, saya juga laki-laki, dan sebagian dari mereka tidak tampan, tapi terpikatnya saya jelas bukan dari sudut pandang asmara. Mereka memainkan sepakbola yang menghibur. Itu saja.

Selepas piala dunia, liga-liga reguler di eropa mulai bergulir, dan pelan-pelan saya tau di klub mana saja pemain-pemain karismatis piala dunia tadi bermain. Mulai tau bahwa Zidane-del piero-inzaghi ada di juventus, beckham ada di man utd, Ronaldo ada di inter, Veron ada di Lazio, dan hal-hal yang seperti itu. Setelah itu berkembang lagi menjadi pengetahuan tentang profil Liga elit Eropa. Waktu itu Liga Italia adalah Liga yang paling banyak menyita perhatian dunia. Persaingan seru terjadi terutama atas tujuh tim, yang sering disebut sebagai Magnificent Seven. Mereka adalah Lazio, Juventus, Inter Milan, AC Milan, Fiorentina, AS Roma, dan Parma. Ketenaran Liga Inggris ada sedikit di bawahnya. Saat itu Manchester United sedang bagus-bagusnya dan sangat dominan. Seingat saya waktu itu hanya kehilangan dua gelar Liga Inggris dalam delapan tahun terakhir.



Sejak saat itulah saya mulai nyambung kalo diajak temen-temen bicara soal sepakbola. Dari mereka juga saya belajar hal-hal menarik selain pertandingan sepakbola. Mulai dari filosofi permainan, transfer pemain, nilai historis, statistik, posisi pemain, hingga profil pelatih. Dari sini sepakbola jadi semakin menarik. Namun terasa agak kurang greget ketika ngerumpi tentang sepakbola, tapi tidak punya tim unggulan. Ketika yang lain saling membanggakan tim-tim andalannya, saya belum fanatik terhadap siapapun.

Sampai ketika musim 98-99 hampir berakhir, waktu itu ada partai Final Piala Champion yang mempertemukan Bayern Munchen dan Manchester United. Saya nonton live di tivi. Begadang. Bayern Muenchen unggul 1-0 hingga babak kedua menyentuh menit 90, dan tampaknya mereka akan menang. Di luar dugaan, diawali dari tendangan sudut David Beckham, yang memang legendaris, Manchester United berhasil mencetak gol. Dua kali. Dua-duanya melalui pemain pengganti. Ole Gunnar Solksjaer dan Teddy Sheringham. Piala Champion-pun menjadi hak Manchester United. Konon pertandingan ini menjadi salah satu pertandingan paling bersejarah sepanjang masa. Tahun itu MU meraih treble, yaitu meraih tiga gelar sekaligus. Juara Liga Inggris, Juara Piala FA, dan Juara Piala Champion. Sejak itu saya jatuh cinta pada Manchester United. Apalagi menyimak perjalanan sepanjang musim itu di liga, dimana tiga striker MU, yaitu Dwight Yorke, Andy Cole, dan Ole Gunnar Solksjaer menempati tiga teratas daftar top skorer Liga Inggris. Sungguh mengesankan. Makin mengesankan lagi ketika saya tahu bahwa sebagian besar pemain MU waktu itu adalah hasil didikan tim junior MU sendiri. Ada David Beckham, Ryan Giggs, Paul Scholes, Gary Neville, Philip Neville, dan Nicky Butt. Terkenal dengan nama "Class of 92", karena mereka seangkatan masuk MU di tahun 92. Giggs pengecualian, dia setahun sebelumnya. Saya merasa hal tersebut sangat luar biasa. Ditambah dengan deretan pemain legendaris seperti Peter Schmeichel, Roy Keane, Jaap Stam, dan Denis Irwin. Kecintaan itu bertahan hingga sekarang, meskipun dengan alasan yang terus berkembang. Setahun kemudian, di akhir 2000, Liga Inggris masih didominasi MU, sedikit diganggu oleh Arsenal, Liverpool, dan Newcastle.

Di tempat lain, Liga Italia masih selalu seru. Hampir tiap weekend saya nonton Liga Italia ini, tim manapun yang bermain. Dari sekian banyak tim, saya cukup terpikat oleh warna kostum (*sigh) dan permainan lini tengah Lazio. Lini tengah Lazio digalang oleh Nedved-Veron-Almeyda-Stankovic. Nedved adalah pemain sayap kiri yang cepat, kuat dan punya crossing akurat. Beberapa tahun berikutnya Nedved hijrah ke Juventus hingga pensiun. Veron adalah playmaker yang memiliki visi dan gaya passing yang mengesankan. Sayang dia gagal ketika pindah ke Manchester United. Almeyda adalah gelandang bertahan yang ngotot dan tangguh. Entah gimana kabarnya selepas dari Lazio. Stankovic adalah pemain sayap kanan yang cepat dan liat. Karirnya tetap cemerlang ketika pindah ke Inter Milan. Selain lini tengah solid, Lazio juga memiliki striker-striker hebat. Ga tanggung-tanggung, Lazio punya lima sekaligus. Lima!!! ya, LIMA!!! Well, ga penting juga sih harus diulang menyebut LIMA-nya. Tapi punya stok lima striker hebat dan bisa kerjasama dengan harmonis itu agak susah dilakukan kebanyakan tim besar. Lazio punya Alen Boksic, Fabrizio Ravanelli, Roberto Mancini, Marcelo Salas, dan Simone Inzaghi. Sektor pertahanan Lazio juga dahsyat. Meskipun sekarang lebih dikenal sebagai salah satu icon AC Milan, sejatinya Alessandro Nesta adalah pangeran Lazio. Dia pindah ketika Lazio mengalami krisis keuangan dan harus menjual Nesta sebagai salah satu mega bintang untuk memperbaiki kondisi finansialnya. Nesta adalah pemain belakang yang taktis, kuat, sigap, dan tampan. Yang terakhir ga berguna banyak di lapangan, sih. Selain Nesta, ada Fernando Couto di tengah, Giuseppe Pancaro di kanan, dan Sinisa Mahejlovic di kiri. Okay, itu salah. Sinisa Mihajlovic di kiri. Selain sebagai bek kiri hebat, Mihajlovic sangat terkenal lewat tendangan bebas kaki kirinya yang luar biasa kencang dan terarah. Setara dengan free kick David Beckham dalam wujud yang berbeda. Kalo ganteng nya sih masih kalah. Dan di akhir musim 1999/2000 ini, Lazio berhasil jadi juara Liga Italia. Untuk yang kedua sepanjang umur tim ini. Agak menyedihkan memang, tapi tahun itu sangat membanggakan. Jadilah saya mengidolakan Lazio sejak saat itu.

Gila bola masih berlanjut. Di tengah-tengah euforia 'mainan baru' itu, muncullah sebuah game komputer yang bernama Championship Manager. Game ini cukup unik. Saat itu Playstation sedang menjadi tren baru yang sedang meledak. Penggemar sepakbola pasti sangat menyukai game Winning Eleven di Play Station yang legendaris hingga sekarang. Winning Eleven adalah game sepakbola dimana kita bisa menggerakkan para pemain di lapangan sesuai keinginan kita, seolah-olah sedang mengalami pertandingan bola sesungguhnya. Konsep nya bukan yang pertama, karena sejak jaman gamewatch, spica/nintendo dan sega sudah ada yang seperti ini. Nah, Championship Manager (CM) menawarkan konsep baru. Kita memainkan game sepakbola, tapi tidak berlaku sebagai pemain, melainkan Manajer. Manajer. Yup, MANAJER!!! Emmm, kenapa harus diulang-ulang ya? Karena berlaku sebagai Manajer, kita tidak bisa menggerakkan pemain. Namun lebih dari itu, kita bisa mengatur mereka untuk bergerak sesuai keinginan kita tanpa harus menggerakkan secara individu. Seperti di dunia nyata, Manajer mengurusi porsi latihan, strategi permainan, siapa yang harus diturunkan, kapan mengganti pemain, bahkan hingga urusan pembelian dan penjualan pemain, dan kontrol keuangan klub. Tentu saja, seperti Manajer di dunia nyata, Manajer juga bisa berganti klub atau berada di klub itu selamanya. Itu tergantung keinginan saja. Yang membuat game ini semakin menarik adalah support databasenya yang menurut saya Luar Biasa. Di awal memainkan game, semua pemainnya adalah nyata. Nama-nama pemain dari seluruh dunia, lengkap dengan statistik yang menyajikan data diri pribadi serta kelebihan dan kekurangan pemain tersebut. Data-data ini sangat detil dan cukup akurat. Meskipun demikian, game ini tidak terlalu berat, karena tidak menampilkan gambar grafis yang rumit. Ketika pertandingan berlangsung kita hanya membaca tulisan-tulisan komentator yang muncul mengomentari pertandingan. Tidak ada pertandingan yang bisa dilihat. Hanya Teks. Dari game inilah kemudian saya makin memahami konsep sepakbola modern beserta industrinya, plus nama-nama pemain terkenal dan sejarahnya. Pengetahuan ini cukup membantu ketika menikmati pertandingan-pertandingan sepakbola di dunia nyata. Ketika ada pemain bagus di CM, saya jadi tertarik untuk mencari profilnya di dunia nyata. Sebaliknya, ketika ada nama karismatis di televisi atau koran, saya langsung mencari nama itu di CM. Robbie Keane adalah salah satu contoh pemain yang sudah saya kenal namanya jauh sebelum saya benar-benar menyadari bahwa dia pemain bola beneran. Waktu itu dia masih di Wolverhampton, Liga bawah di Inggris. Saat ini CM telah bertransformasi menjadi Football Manager dengan fitur yang lebih kompleks, database yang lebih lengkap, dan dilengkapi dengan gambar 3 dimensi, sehingga kita bisa menonton pertandingan tim kita.

Kecanduan saya pada CM ini makin memperkuat kesenangan saya menonton sepakbola. Hampir semua pertandingan sepakbola yang disiarkan live di televisi selalu saya tonton. Tidak perduli tim apa dan jam berapa. Selain Liga Inggris dan Liga Italia, saya mulai menyadari bahwa ternyata saya tinggal di sebuah daerah yang memiliki tim sepakbola besar dengan kultur mengakar dan sangat fanatik. Tim itu adalah AREMA!!!

Tadinya saya cukup skeptis pada Arema, karena seringnya berita kerusuhan di koran dan televisi. Tapi ternyata itu karena saya TIDAK TAHU. Dari teman saya yang sudah melek Arema sejak lama, saya temukan bahwa dulu memang Arema sempat identik dengan kerusuhan, tapi sudah berubah menjadi suporter yang berusaha untuk menjunjung tinggi nilai sportifitas. Pasti akan banyak yang menyanggah kalimat ini, baik karena informasi setengah-setengah, korban provokasi, maupun fanatisme tim lain, tapi setidaknya itulah yang saya rasakan. Di dalam, AREMANIA bukan suporter yang suka cari ribut, tapi terasa sekali bentuk dukungannya terhadap AREMA secara militan. Meski begitu, kadang memang terjadi gesekan dengan suporter lain yang memicu kerusuhan. Ini memang permasalahan yang cukup kompleks. Tapi paling tidak dari semangat sportifitas yang dibawa itu saya mulai simpati pada AREMA dan AREMANIA. Simpati ini makin berubah jadi cinta ketika saya kuliah, dan jauh dari Malang. Memantau informasi dari televisi, AREMA dan AREMANIA mampu tampil menjadi tim yang berkarakter dengan dukungan suporter yang ultra fanatik. Dimana saja Arema bermain, selalu ada AREMANIA. Dan ketika kuliah di tanah rantau (meskipun masih sepulau), kecintaan pada AREMA makin meningkat. Perasaan bahwa AREMA bukan hanya tim sepakbola biasa, tapi juga sekaligus identitas yang menyiratkan kebanggan, semangat persaudaraan dan tolong menolong.

Di saat yang sama, saya mulai melirik Liga Spanyol. Liga yang jarang muncul di tivi itu sangat terkenal karena ada Real Madridnya. Dan Barcelona. Real Madrid adalah tim yang memiliki catatan sejarah luar biasa, berprestasi hebat di segala kompetisi, dan selalu diisi pemain-pemain bintang, bahkan yang terbaik di dunia. Real Madrid adalah pemegang titel Juara Piala (dan Liga) Champion terbanyak hingga saat ini. Liga Spanyol juga masih berada dalam kekuasaan Real Madrid. Jadi ketika menilik peta kekuatan sepakbola di era manapun, selalu ada Real Madrid. Dan Barcelona. Meskipun begitu, hati saya tidak terpaut pada Real Madrid. Saat itu saya berpikir bahwa terlalu mudah bagi Real Madrid untuk memboyong pemain bintang, sehingga gelar juga tidak sulit diboyong. Money Talks. Di sisi lain, ada Barcelona disana. Saat itu berstatus sebagai tim hebat yang sedang tertatih mengejar Real Madrid. Dengan formasi 3-3-3-1 yang cukup unik, Barcelona cukup fluktuatif. Diperkuat pemain-pemain hebat seperti Patrick Kluivert, Frank De Boer, Philip Cocu, Marc Overmars, Rivaldo, Luis Enrique, Emanuel Petit, Barcelona tidak pernah bisa bersaing ketat memperebutkan tahta Juara La Liga. Prestasi Barcelona baru mulai stabil ketika Ronaldinho, superstar muda saat itu, dan Saviola bergabung. Permainan Barcelona (baca : Ronaldinho) sangat menghibur. Di tahun pertama Ronaldinho bergabung, Barcelona menempati posisi runner up La Liga. Tahun selanjutnya, 2004, dengan bergabungnya Deco, Barcelona menjadi tim menyerang yang menyenangkan untuk ditonton. Trio penyerang Ronaldinho, Samuel Eto'o, dan Ludovic Giuly menjadikan formasi menyerang Barcelona sangat dahsyat. Musim itu diakhiri dengan menjadi juara liga. Bukan hanya itu, pada tahun 2005 Barcelona sukses mendapatkan trebel, Juara La Liga, Juara Liga Champion dan Juara Copa Del Rey sekaligus. Sejak ada Ronaldinho itulah saya makin menyukai permainan Barcelona. Dan mulai fanatik.

Jadilah empat tim itu yang selalu jadi idola. Bagi saya, tidak menarik untuk mengikuti sebuah liga sepakbola tanpa memiliki tim unggulan disana. Filosofi "Any ggod team win the league" atau "siapa aja yang juara liga, asal timnya bagus" tidak berlaku. Harus mendukung sebuah tim, sehingga punya arah dalam menikmati sebuah liga. Kadang dilema juga ketika dua tim idola itu bertemu, seperti ketika Lazio melawan MU di seri terakhir piala winner, atau dua kali Barcelona bertemu MU di Final Liga Champion. Tapi akhirnya saya tinggal duduk manis, rileks, dan menikmati sepanjang laga. Siapapun yang menang,saya senang.

Hal itu pulalah yang akan menjadi sudut pandang saya dalam menulis di blog ini. Saya adalah Aremania, Manchunian, Laziale, dan Barcelonistas. Harap maklum atas subyektifitas ini. Namun dalam subyektifitas tersebut akan saya coba untuk se obyektif mungkin. Say the good when it is good, say the bad when it is bad. Tiap orang mungkin saja punya pendapat yang berbeda, saya sangat menghargai itu, dan mari kita berbagi. Your teams maybe better, but my support will always goes to mine. Dan saya harap semangat sportifitas selalu terjaga disini. Bahwa menang dan kalah dalam sebuah pertandingan adalah hal yang wajar, dan ada semangat persaudaraan diatas segalanya.

Salam sportif,
Good Football Lover.

0 komentar:

Posting Komentar