14 Oktober 2011

Menang Kalah Tetap Dukung Indonesia

--- Timnas bagus, senayan rame. Irfan bachdim jadi artis, Cristian Gonzales main sinetron. Timnas ga bagus, senayan sepi. di socmed rame-rame saling menyalahkan. Pesimisme dan sinisme bertebaran. Harus seperti itukah? ---

Setelah sekian lama timnas Indonesia minim prestasi, permainan para pemain Indonesia menyajikan harapan tinggi di ajang Piala AFF tahun 2010 lalu. Permainan taktis dengan passing akurat, pertahanan rapat, dan pergerakan bagus mengundang decak kagum. Hasilnya di awal kompetisi Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia dengan skor telak 5-0, yang diikuti hasil-hasil memuaskan, termasuk menyingkirkan Filipina yang dipenuhi pemain naturalisasi. Hasil positif ini rupanya mampu menyebarkan euforia kebanggaan terhadap Timnas Sepakbola kita. Seketika seluruh lapisan masyarakat membicarakan sepakbola. Mulai dari headline koran-koran, berita olahraga di televisi, hingga acara gosip. Masyarakat menjadi sangat antusias, tiket nonton langsung ke GBK menjadi buruan semua orang. Sayangnya, Indonesia kalah di final, disingkirkan oleh Malaysia yang takluk 5-0 di babak awal. Di partai itu pola permainan Timnas Indonesia berubah. Tanpa possession, mengandalkan umpan lambung yang jarang menemui sasaran. Tim kita kehilangan arah. Ada kekecewaan, tapi tidak menurunkan tensi antusiasme.

PSSI yang disalahkan, Nurdin Halid sasaran tembaknya. Memimpin sekian tahun tanpa prestasi sama sekali dianggap sudah cukup ditolerir, saatnya terjadi pergantian rezim. REVOLUSI PSSI.


Saat ini, REVOLUSI yang diinginkan itu sudah terjadi. Robohnya rezim lama membuat mayoritas masyarakat Indonesia tersenyum. Sayangnya senyum itu tidak bertahan lama. Ternyata PSSI di bawah rezim baru tidak mampu menghadirkan optimisme baru. Bahkan terlihat cenderung lebih buruk dari rezim lama. Memang terlalu dini untuk memberikan penilaian, tetapi berbagai keputusan-keputusan aneh membuat masyarakat pecinta bola mengrenyitkan dahi. Ambil contoh tentang proses pergantian pelatih timnas, perubahan hak siar pertandingan timnas, dan proses penyusunan liga yang amburadul. Hal ini juga berimbas pada permainan timnas. Di laga awal di tangan pelatih baru, Indonesia mampu menumbangkan Turkmenistan dengan permainan meyakinkan dan organisasi yang bagus. Sayangnya hal itu tidak lagi berlanjut. Dalam 3 partai selanjutnya, Timnas kita bermain sangat buruk tanpa koordinasi. Tidak ada passing-passing menawan, pergerakan ciamik, ataupun pertahanan yang rapat. Lemah di hampir semua lini. Hasil negatif yang membuat pelatih baru menjadi sasaran kritik media, dan banyak suara menginginkan Riedl kembali melatih Indonesia.

Hingga artikel ini ditulis, Indonesia telah memainkan tiga partai di babak penyisihan pra piala dunia, yang semuanya menelan hasil yang sama, KALAH. Dan di partai ketiga melawan Qatar di kandang, meskipun menyajikan permainan yang lebih baik dan mampu mencetak 2 gol melalui Christian Gonzales, Indonesia tetap kalah melalui 3 gol Qatar. Satu hal yang menarik menurut penulis adalah tingkat antusiasme yang jauh menurun. Jika sebelum-sebelumnya tiket pertandingan di GBK selalu menjadi buruan, bahkan di partai persahabatan, kali ini itu tidak terjadi. Selain memang karena adanya 'boikot' dari Jakmania yang memprotes keputusan PSSI dalam menuntaskan kasus dualisme Persija, terasa sekali sepinya dukungan berbagai pihak. Televisi tidak lagi menggembar-gemborkan kiprah timnas. Lebih parahnya lagi, muncul nada-nada miring di berbagai social media.

"Timnas maen ya? Ah, paling kalah lagi"
"Tuh kan, udah pasti kalah. Udah tau dari awal"
"Males gw, kalah lagi kalah lagi. Bubarin aja PSSI deh"
"Prediksi mas gimana? | Bisa menang sih | Ah, ga mungkin lah. Indonesia levelnya rendahan | Tapi sebenarnya bisa bagus lho. Tuh waktu kalahin malaysia? | Hah, kapan? Pernah menang ya kita?"

Begitu banyak komentar sinis kembali bertebaran. Mungkin pendapat mereka memang benar, namun penulis mencoba berpikir berbeda. Bagaimanapun juga, timnas Indonesia adalah kebanggaan kita. Menang ataupun kalah seharusnya tetap selalu didukung sekuat tenaga. Bahwa kita mendukung, bukan hanya untuk melihat mereka menang, tapi kita dukung mereka yang membawa nama negara demi harga diri bangsa. Kalo memang faktanya kemampuan kita sampai segini ya biarlah, yang penting sudah berjuang mengerahkan daya upaya. Yang harus dibenci adalah apabila ada yang segan bahkan enggan menyumbangkan kemampuannya demi Indonesia. Di luar negeri pun banyak pemain yang bergaji tinggi di klub, tapi tidak sepenuhnya semangat ketika membela timnas negaranya. Hal seperti inilah yang seharusnya dilawan. Sejauh yang penulis amati, pemain timnas Indonesia telah memberikan perjuangannya sesuai arahan pelatih di lapangan. Ga perlu menyalahkan pemain, jika memang dia sudah menjalankan porsinya dengan baik. Ga perlu menyalahkan pelatih jika memang itulah kemampuan terbaiknya meskipun kalah. Mungkin perlu dikoreksi siapa yang memilih pemain itu, dan kemudian siapa yang memilih pelatih itu. Indonesia pernah bagus, atau paling tidak menunjukkan potensi menjadi bagus. Dengan arahan pelatih yang benar, sebuah tim bisa mengeluarkan 150% kemampuannya. Sebaliknya, di tangan pelatih yang salah, tim bisa mengeluarkan tidak sampai separo kemampuan sebenarnya. Kita pernah melihat yunani menjadi juara eropa, porto menjadi juara liga champion, dan malaysia menjadi juara asia tenggara. Tapi kita juga pernah melihat Total Football belanda tidak menjadi juara, inggris tidak mengikuti piala eropa, dan brazil menjadi tim lemah. Boleh lah kita malu atas kinerja petinggi yang mengurusi sepakbola kita, tapi tidak perlu menghujat-hujat para pemain timnas disertai dramatisasi kejelekan timnas Indonesia.

Mari kita lakukan apapun yang kita mampu dalam mengkritisi sepakbola Indonesia, yang dikelola oleh PSSI, dan tercermin dalam Timnas Indonesia yang dipegang oleh seorang pelatih hasil penunjukan PSSI. Tulisan ini adalah salah satu bentuk upaya penyampaian opini dan kritisi baik kepada pihak pengelola sepakbola maupun kita sebagai suporter. Penulis memiliki harapan agar Indonesia tidak sekedar pernah memenangi sebuah kejuaraan, tapi memiliki tradisi yang bagus di bidang sepakbola, seperti kita pernah menjadi negara terkuat di bidang bulutangkis pria, dulu. Tiga partai pra piala dunia masih tersisa, tapi nampaknya peluang untuk lolos sangat kecil. Akan lebih baik jika kesempatan ini kita gunakan untuk membangun. Level kita sekarang belum tinggi, tapi mari kita fikirkan tahun-tahun mendatang. Momen Pra Piala Dunia bisa digunakan untuk membina mental pemain-pemain kita untuk bermain bagus dan benar. Kalo perlu, kubur mimpi berprestasi dalam waktu dekat, revolusi sistem secara masiv, demi membangun sepakbola sejak dini dan berkelanjutan, diiringi tingkat kompetisi yang sportif dan berkualitas. Kalah sekarang, untuk menang di masa depan.

Dan untuk suporter, jika kita bisa melakukan sesuatu, lakukan. Jika tidak, mari berdoa dan mendukung apapun yang terjadi kepada timnas sepakbola kita. Tidak sekedar menghina, mencaci dan menyebar skeptisme.

Maju Sepakbola Indonesia !!!

0 komentar:

Posting Komentar