25 Oktober 2011

This Is What I Called, Barcelona Effect


Sebagai penikmat keindahan permainan sepakbola, sekaligus juga penggemar Barcelona, mengikuti perkembangan informasi persepakbolaan dunia dalam tiga tahun terakhir terasa begitu mengasyikkan. Selama saya menggemari nonton sepakbola, bisa dibilang masa-masa ini adalah masa paling menarik dan memancing adrenalin lebih banyak. Ini semua karena suatu hal yang saya sebut, BARCELONA EFFECT.


Barcelona mulai kembali menemukan jatidirinya lagi sebagai tim besar adalah ketika Ronaldinho bergabung di tahun 2004, dibawah asuhan pelatih Frank Rijkaard. Rijkaard yang pilar Belanda pengusung Total Football di tahun 80an mampu membawa Barcelona bermain baik, bahkan hingga meraih treble. Namun kedahsyatan sesungguhnya terjadi di era pelatih suksesor Rijkaard, yaitu Josep 'Pep' Guardiola.

Pada awalnya Pep sempat diragukan oleh publik, mengingat pengalaman berlatihnya yang sangat minim. Sebelum diangkat menjadi manajer Barcelona, Pep hanya menjadi pelatih tim Barcelona B. Apalagi di awal masa kepelatihannya, Pep tak segan membuang sederet pemain yang dianggap bintang, dan berperan penting dalam pencapaian treble tahun 2005. Ronaldinho dipinjamkan ke AC Milan. Deco dijual ke Chelsea. Eto'o pun hendak dijual, namun musim itu diurungkan, ditunda hingga musim depannya. Zambrotta dilepas ke juventus. Tapi ketika Barcelona mulai bermain bola, seluruh dunia tertegun. Barcelona memainkan sepakbola yang benar-benar sepakbola. Maksudnya, Barcelona meletakkan dasar-dasar permainan bola pada tempat yang seharusnya. Mereka mampu melakukan passing, dribbling, shooting, pressing, tackling, ball possession, off-the-ball, positioning, dengan sangat bagus. Barcelona mampu mengendalikan permainan, dan dominan dalam possession football. Hal tersebut membuat tim lawan lebih sering dipaksa untuk bertahan. Konsepnya, lawan tidak akan bisa menyerang jika tidak memegang bola. Pertahankan bola, buka peluang, dan pressing ketat ketika bola direbut lawan. Bersama skuadnya yang mengkilap, filosofi ini berjalan sukses.

Kesuksesan Barcelona di tahun pertama ditangani Pep membuat selisih kualitas Barcelona terlihat jauh mengungguli tim-tim lain di Spanyol, bahkan di Eropa, dan dunia. Seolah-olah tak ada satupun tim lawan yang mampu menandingi skema permainan Barcelona. Jika mengikuti kompetisi yang juga diikuti Barcelona, maka persaingan sengit terjadi di perebutan peringkat kedua, karena juaranya hampir pasti, Barcelona. Seketika Barcelona menjadi team-to-beat bagi seluruh tim-tim besar Eropa. Meskipun begitu diunggulkan, ternyata kemudian secara mengejutkan disingkirkan oleh Inter Milan di semifinal Piala Champion. Padahal di fase grup Barcelona dua kali mengalahkan Inter Milan dengan skor meyakinkan. Selain itu di Serie-A sendiri Inter Milan sempat terseok-seok meskipun di akhir musim mampu meraih juara, bahkan akhirnya meraih treble winner. Kala itu Inter Milan dilatih oleh sang pelatih jenius, The Special One, Jose Mourinho. Inter Milan menang melalui pertahanan yang disiplin dan serangan balik cepat nan efektif, meskipun sepanjang pertandingan selalu dikurung oleh possession football khas Barcelona. Semakin spesial-lah si spesial ini.

Satu hal lagi yang menjadi sangat menarik tentang Barcelona adalah banyaknya pemain hasil didikan sendiri di tim tersebut. Secara tradisi ada banyak tim yang seringkali dipenuhi pemain bintang, tapi tidak banyak yang menjadi tempat terlahirnya pemain-pemain kelas dunia tersebut secara konsisten. Beberapa dari yang sedikit itu misalnya adalah Ajax Amsterdam, Manchester United, dan.... Barcelona. Pep Guardiola yang sudah mengenal anak-anak muda Barcelona ketika menangani Barcelona B berani mempromosikan mereka untuk bermain di tim utama. Bukan sekedar berani, Pep akhirnya berhasil. Sebagai bukti nyata, saat ini Barcelona bisa menyusun sebuah tim kelas dunia yang seluruh starternya merupakan hasil didikan La Masia, akademi olahraga Barcelona. Dari yang tampil reguler saja ada Victor Valdes, Gerard Pique, Carlos Puyol, Sergio Busquets, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Pedro, dan Lionel Messi. Plus ditambah Cesc Fabregas yang sempat berada di La Masia sebelum dibeli Arsenal dan menjadi besar disana. Besar bersama dalam suatu sistem yang konsisten tentu saja menjadikan Barcelona tim yang tidak hanya kuat di lapangan, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi motivasi ekstra untuk terus tampil maksimal meskipun mereka telah meraih semua gelar yang memungkinkan.

Di balik itu semua rupanya terdapat kerendahan hati yang kerap ditampilkan oleh Barcelona, sebagaimana seringkali tergambar lewat komentar Pep Guardiola sebagai pelatih, Lionel Messi sebagai bintang nomer satu dan pemegang gelar Pemain Terbaik Dunia 2011, serta Xavi sang kapten utama Barcelona. Ketika menang, mereka tidak jumawa. Ketika kalah, mereka tidak segan memuji penampilan lawan, lalu kemudian bangkit setelahnya. Tentu saja ini merupakan contoh yang baik untuk seluruh penikmat sepakbola. Bukti nyata sikap sportif, karena itulah nafas utama sebuah bentuk sport, atau olahraga. Ya, mereka memang tetap bukan malaikat yang tidak pernah salah. Kadang mereka terjebak dalam provokasi lawan, atau bahkan menciptakan provokasi. Contoh paling sering adalah ketika duel El Classico. Tapi penulis rasa masih dalam kadar wajar, dalam kerangka panasnya tensi pertandingan.

Berikut adalah beberapa tim yang menurut penulis terkena imbas "Barcelona Effect" :

1. Real Madrid
Dominasi Barcelona di lima tahun terakhir tentu saja menggores ego Real Madrid yang hingga saat ini masih tercatat sebagai pengoleksi gelar Liga Spanyol dan Liga Champion Eropa terbanyak. Meskipun telah dihuni banyak sekali pemain bintang, faktanya dalam tiga tahun terakhir Real Madrid masih berada di bawah bayang-bayang Barcelona. Tiga tahun tanpa gelar bukanlah sesuatu yang wajar untuk tim sekelas Real Madrid. Karena itulah berbagai cara dilakukan Real Madrid untuk mengembalikan wibawa mereka di tempat yang seharusnya. Setelah bongkar pasang pelatih, pilihan terakhir Real Madrid jatuh kepada sosok special yang telah terbukti mampu mengeliminasi Barcelona di Liga Champion, yaitu Jose Mourinho. Skuad pun dijejali pemain-pemain super kelas dunia. Cristiano Ronaldo dan Kaka didatangkan sekaligus dengan harga yang menjadi rekor transfer tertinggi dalam sejarah sepakbola, sekaligus di posisi satu dan tiga, hanya diselingi oleh transfer Zinedine Zidane di posisi kedua. Didatangkan pula pemain muda potensial yang sangat menjanjikan seperti Mesut Ozil, Sami Khedira, Angel Di Maria, Nuri Sahin, dan Fabio Coentrao. Ditambah skuad lama yang juga berstatus bintang seperti Gonzalo Higuain, Xabi Alonso, Marcelo, Sergio Ramos, Iker Casillas dan Karim Benzema. Tujuannya tentu saja untuk mengalahkan BARCELONA. Dan memang sejak ditangani Mourinho, El Clasico menjadi semakin seru dari pertandingan ke pertandingan. Kalah telak 5-0 di El Clasico pertama rupanya cukup membuat Mourinho lebih waspada dan teliti dalam menyusun strategi. Pertarungan pun menjadi semakin ketat. Level permainan Madrid perlahan-lahan semakin menanjak. Saat ini bisa jadi Real Madrid merupakan salah satu skuad terbaik sepanjang masa, dan bisa dominan di semua liga di dunia, kecuali Liga Spanyol karena masih ada Barcelona.

2. Manchester United
Dua dikalahkan di final Liga Champion oleh tim yang sama, BARCELONA, tentu membuat Sir Alex Ferguson dan Manchester United-nya berbenah. Di musim 2011/2012 ini skuad MU berisikan banyak sekali pemain muda dengan tipe permainan yang baru, dan sedikit banyak mengarah pada gaya permainan Barcelona. Bahkan Sir Alex Ferguson pun mengakui tingginya level permainan Barcelona dan berniat menyusul level mereka.

3. AS Roma
Secara terang-terangan pemilik AS Roma berniat mengadaptasi gaya permainan Barcelona. Salah satu caranya dengan menggaet Eks pemain Barcelona yang sedang berstatus sebagai pelatih Barcelona B, Luis Enrique. Kedatangan Enrique ini diharapkan mampu meletakkan dasar-dasar permainan Barcelona, plus sebagai bargaining position untuk menggaet beberapa pemain Barcelona. Sayangnya hingga saat ini baru Bojan Krkic yang bersedia di transfer, dan sejauh ini penerapan pola Barcelona tersebut belum sepenuhnya berhasil.

4. Manchester City
Sebagai tim yang belum lama diakuisisi seorang multi milyuner arab, Manchester City berharap dapat menjadi tim besar yang dominan di Inggris, dan nantinya di Eropa. Dan yang menjadi salah satu acuannya adalah, BARCELONA. Kebijakan menggaet Yaya Toure yang eks pemain Barcelona dan David Silva yang pemain timnas Spanyol (bersama beberapa pemain Barcelona) ternyata cukup berhasil menghidangkan permainan kolektif ala Barcelona tersebut. Selain itu, City berniat membangun sebuah akademi sepakbola untuk membina bakat-bakat usia dini, seperti kesuksesan yang ditorehkan La Masia, akademi olahraga yang dimiliki oleh BARCELONA.

5. Timnas Indonesia
Di awal-awal kepemimpinannya, Wim Rijsbergen menjanjikan kepada publik bahwa nantinya permainan Timnas Indonesia akan menjadi seperti BARCELONA. Meskipun kenyataannya, hingga saat ini janji tersebut tidak terbukti.

6. Dan banyak lagi yang lainnya
Begitu banyak tokoh-tokoh sepakbola yang mengatakan kekagumannya terhadap filosofi sepakbola Barcelona. Banyak pula pemain-pemain sepakbola yang menjadikan Barcelona sebagai acuan, bahkan hingga tim amatir seamatir-amatirnya. Pernahkah anda mendengar sebuah tim futsal kantoran atau sekolahan atau tim senang-senang yang mengatakan "Ayo kita bermain seperti Barcelona..." ? If so, have you got my point? :D

Mengingat skuad yang relatif muda dengan pemain bintang yang masih berpotensi untuk bersinar lebih, serta meningkatnya persaingan dengan tim lain terutama Real Madrid, sepertinya dalam jangka waktu yang lama kita masih akan menikmati, BARCELONA EFFECT.

2 komentar: